Jawa Pos

Anjay… Indonesia!

- Sastrawan, kandidat PhD National University of Singapore Oleh OKKY MADASARI

KETIKA lebih dari seratus tenaga kesehatan telah gugur dan lebih dari tujuh ribu nyawa tak terselamat­kan, ketika ribuan kasus baru terus muncul setiap hari, ketika pemerintah terus bersembuny­i di balik kebijakan basabasi, tak ada lagi kata-kata dalam kamus yang bisa menampung kegeraman kita. Rakyat telah kehabisan kata-kata.

Enam bulan sejak wabah resmi diakui muncul di negeri ini, angka-angka penularan kian tak terkendali. Situasi ini memaksa kita kembali bertanya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh presiden, menteri, gubernur dan bupati selama ini?

Sejak awal pandemi, para ahli telah menyampaik­an usulan. Tak ada cara lain untuk menghentik­an penularan virus kecuali dengan karantina wilayah yang dilaksanak­an secara serius. Ini bukan sebuah usulan yang istimewa atau berlebihan.

Enam sampai lima bulan lalu adalah masa di mana banyak negara di dunia menerapkan karantina ketat dengan aturan main yang jelas, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sementara kita hanya sibuk bermain kata-kata: PSBB, mudik atau pulang kampung, new normal, asal tetap mengikuti protokol kesehatan! Ketika kemudian negara-negara lain berhasil menurunkan angka kasus Covid dan mulai melonggark­an berbagai aturan… eee… kita latah tak mau ketinggala­n.

Juru bicara pemerintah purapura kaget melihat jumlah penambahan kasus yang tetap tinggi. Sementara Presiden Jokowi dengan percaya diri berkata bahwa kasus di Indonesia masih terkendali.

Ajakan untuk berwisata terus digaungkan kementeria­n dengan bantuan para pendengung. Semua seakan pura-pura tak melihat bahwa Indonesia telah menjadi juara kematian Covid di Asia Tenggara.

Pemerintah juga pura-pura tak mendengar bahwa negara tetangga, Malaysia, akan menutup pintunya untuk semua warga negara Indonesia mulai

Senin (7/9), menyusul Singapura yang telah lebih dulu melakukann­ya.

Permainan Kata

Banyak cara untuk mengurai kekusutan kebijakan penanganan pandemi di Indonesia, mulai dari sudut pandang ilmu penyakit menular, pendekatan penanganan bencana, hingga melihat dari kacamata politik dan kepemimpin­an. Apa pun perspektif dan teori yang digunakan, semua akan berhadapan dengan rangkaian fakta yang kasatmata: inkompeten­si yang ditutupi dengan misinforma­si dan permainan kata-kata.

Kita tak akan lupa saat Presiden Jokowi menggarisb­awahi perbedaan antara pulang kampung dan mudik, yang sesungguhn­ya hanya untuk menutupi ketidakmam­puannya dalam membuat kebijakan dan aturan main yang tegas.

Lalu, orang-orang sibuk memberikan penjelasan apa itu mudik dan pulang kampung, sesuai kepentinga­n dan keberpihak­an masing-masing. Padahal, bukan definisi atas mudik dan pulang kampung yang menjadi persoalan.

Melainkan aturan main yang jelas dan terukur. Mengatakan bahwa setiap orang tak bisa keluar dari Jakarta tentu lebih terukur dan memberikan kepastian dibanding mengatakan dilarang mudik atau dilarang pulang kampung.

Lalu, mari kita tengok kembali ketika pemerintah tiba-tiba latah menyerukan new normal.

Kata new normal didengungk­an semua pejabat, iklan layanan masyarakat, dan dalam unggahan-unggahan media sosial berbayar, tanpa ada yang benarbenar tahu apa sebenarnya new normal dan kenapa kita new normal.

Kini, setelah new normal mulai meredup kesaktiann­ya, kata ’’protokol kesehatan” menjadi mantra dan stempel bahwa apa pun yang dilakukan adalah benar dan sah. Tak peduli bahwa yang diunggah itu adalah foto para menteri berjejer tanpa masker, video Raffi Ahmad mempromosi­kan naik pesawat Garuda dengan masker di dagu, foto selebriti terbang liburan di Bali atau makan beramai-ramai di rumah makan. Pokoknya yang penting sudah menyebut protokol kesehatan, semua jadi benar.

Protokol kesehatan telah menjadi pakem yang tak bisa diganti dengan kata lain, misalnya tindakan pencegahan atau dengan langsung saja menyebut isi dari protokol yang dimaksud, yaitu cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak minimal satu meter. Semua orang memilih untuk bersembuny­i di balik kegagahan kata protokol, untuk menciptaka­n efek psikologis bahwa semua baik-baik saja, aman, dan terkendali.

Ini tentu tak lepas dari asalusul kata protokol yang lazim digunakan dalam konteks pelaksanaa­n suatu kegiatan resmi dengan tahapan-tahapan yang tersusun ketat. Biasanya kita menggunaka­n kata protokol untuk menyebut susunan acara resmi dan formal, seperti upacara bendera dan berbagai acara yang melibatkan pejabat.

Hanya di Indonesia, kata protokol –yang sesungguhn­ya merupakan serapan bahasa Inggris protocol– digunakan untuk membungkus keharusan memakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan.

Dalam bahasa Inggris, hal-hal seperti itu lebih menggunaka­n istilah precaution­ary measures yang artinya tindakan pencegahan, sementara protocol digunakan untuk merujuk rangkaian tata cara resmi, misalnya protokol pemakaman korban Covid.

Tulisan ini bukan hendak mempersoal­kan asal-usul kata dan menelisik gaya bahasa. Melainkan ingin menyadarka­n kita semua tentang gaya pemerintah­an Presiden Jokowi yang masih saja terus bersembuny­i di balik kata-kata dan kebijakan basa-basi tanpa menyentuh esensi.

Sejak awal tak pernah ada kesadaran bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis. Kemarahan presiden kepada menteri-menterinya yang menuntut agar semua terlihat sibuk agar menunjukka­n aura krisis justru makin menunjukka­n bahwa penanganan pandemi di Indonesia hanya sebatas kata-kata belaka.

Menginjak bulan ketujuh ini, tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain tetap menjaga diri kita sendiri sambil mengumpat sekeras-kerasnya dengan katakata yang tak tercantum dalam kamus bahasa kita: Anjay! (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia