Realisasikan Lebih Cepat Pengembangan dan Inovasi
DALAM kondisi pandemi, semua pelaku usaha di berbagai sektor sedang fokus untuk bertahan. Fokus untuk survive dengan bisnis masing-masing
Tapi, harus dipahami, tantangan tidak berhenti di situ. Lebih dari sekadar survive, pelaku usaha harus beradaptasi, bertransformasi, dan berinovasi. Pengembangan demi pengembangan harus terus dilakukan di tengah situasi new normal yang tidak bisa diprediksi selesainya.
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, pengusaha sudah dihadapkan pada tantangan digitalisasi. Digitalisasi membuat peta produksi, peta pemasaran, dan berbagai tatanan di market berubah. Menghadapi tantangan itu saja, pengusaha sudah wajib untuk melakukan adaptasi dan development.
Kemudian, ditambah datangnya pandemi Covid-19 yang tidak bisa kita prediksi kapan berakhir. Hal itu secara tidak langsung akan mempercepat, akan mendorong secara paksa pelaku-pelaku usaha untuk melakukan pengembangan lebih cepat. Merealisasikan inovasi-inovasinya dengan lebih cepat.
Adaptasi dan development tersebut, misalnya, di sektor ritel. Saat ini pelaku usaha concern pada standar baru untuk layanan customer dengan mengedepankan faktor kesehatan seperti menyediakan spot delivery service di luar toko. Dari sisi produk, peritel seperti di sektor food and beverages juga mulai melakukan inovasi pada produknya. Misalnya, kopi yang dijual dalam kemasan 1 liter dianggap menjadi jawaban kebutuhan konsumen yang tidak bisa minum kopi di kafe karena kebijakan social distancing.
Lalu, industri garmen yang membuat produk yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan ’’di rumah saja’’. Berbagai pelaku UMKM juga sudah semakin serius untuk mengulik penetrasi penjualan omnichannel, yakni offline dan online.
Berkembang di tengah pandemi akan menjadi modal penting bagi pelaku usaha yang saat ini menghadapi kondisi serba menantang. Pasar ekspor yang digadanggadang menjadi peluang alternatif juga sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan. Ekonomi negara yang menjadi mitra dagang Indonesia, ambil saja contoh Uni Eropa dan Amerika, juga drop lebih dari 45 persen.
Maka, tepat jika disebutkan bahwa pelaku usaha saat ini berharap banyak pada dua hal. Yaitu, penanganan pandemi yang efektif dan penciptaan permintaan dalam negeri.
Di negara lain seperti Jepang dan Jerman, pemerintah memberikan bantuan langsung kepada masyarakat supaya mereka punya kemampuan belanja. Di sana, metode tersebut berhasil meski sejatinya perekonomian masih defisit.
Di Indonesia, bantuan langsung yang diberikan kepada pekerja merupakan sesuatu yang baik. Tapi, itu bergantung realisasinya. Apakah bantuan tersebut berhasil meningkatkan konsumsi, kita belum lihat dampaknya. Menggerakkan daya beli di Indonesia merupakan pekerjaan yang kompleks. Apalagi, dalam rakernas Kadin Bidang Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial terungkap bahwa sedikitnya 6,4 juta pekerja mayoritas dirumahkan dan di-PHK saat PSBB masih diberlakukan.
Kembali soal transformasi, sejalan dengan pengusaha yang perlu untuk adaptasi dan men-develop bisnisnya, transformasi birokrasi juga menjadi sesuatu yang vital. Birokrasi juga harus ikut bertransformasi supaya kita bisa survive dan berkembang bersama dalam masa pandemi. Perizinan, pengurusan prosedur, dan kemudahan-kemudahan lain juga harus diupayakan pemerintah supaya pengembangan pelaku usaha mendapat dukungan.
Kinerja sejumlah kementerian cenderung biasa-biasa saja saat krisis ini. Contohnya, perizinan impor masih sering lambat. Komite Penanganan Covid-19 dan PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) dalam hal ini diharapkan ikut mendorong solusi-solusi untuk kendala tersebut.
Disarikan dari wawancara dengan Agfi Sagittian