Munir dan Kejahatan Negara
KASUS Munir memasuki babak baru. Hilangnya dokumen tim pencari fakta (TPF) menjadi narasi politik kenegaraan untuk mengatakan tidak ada kesediaan politik hukum pemerintah Jokowi-Ma’ruf menuntaskan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia tersebut.
Sejak Munir meninggal karena racun arsenik di atas pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya menuju Amsterdam, publik mendesak pengungkapan kasusnya dengan pembentukan tim independen. Persis, 23 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu mengeluarkan Perpres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. TPF telah menyelesaikan laporan investigasi mereka. Dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005 di Istana Negara.
Dua windu berselang hingga hari ini, dokumen TPF tak pernah dibuka ke publik. Pihak istana menyatakan tidak memilikinya. Surat Kemensetneg No.B-028/ Kemensetneg/D-2/Humas/ HM.01.00/03/2016 menyatakan bahwa kesekretariatan negara tidak memiliki dan menguasai informasi tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang disampaikan Sudi Silalahi, Rabu 26 Oktober 2016, bahwa SBY melalui mantan Mensesneg mengaku telah menyerahkan salinan dokumen kepada pemerintahan Jokowi.
Sejumlah organ pendukung ketatanegaraan (state auxiliary
yang berfungsi sebagai
’’watchdog institutions’’ seperti Ombudsman dan Komisi Informasi pun menegaskan adanya dua hal penting. Pertama, hilangnya dokumen negara tersebut sebagai maladministrasi. Kedua, dokumen TPF merupakan dokumen yang bisa diakses publik.
Mengapa suatu dokumen publik atas kasus yang demikian penting, menjadi perhatian internasional, dan bahkan lahir dari perintah kepresidenan bisa hilang? Mengapa seakan tak ada upaya untuk menuntaskannya? Bukankah pengungkapan itu kewajiban negara, menyelesaikan kasus kejahatan hak asasi manusia?
Kasus Mudah! Sekalipun telah digelar persidangan untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir, aktor utama atau dalang tak pernah diungkap. Karena itulah, dokumen TPF sesungguhnya menjadi kunci untuk menggerakkan lebih jauh upaya penyelesaian kasus hukum tersebut.
Sesungguhnya, dokumen hasil penyelidikan TPF yang dinyatakan hilang itu mudah dicari. Pertama, salinan dokumen TPF masih tersimpan di sejumlah anggota tim itu sendiri. Kedua, untuk menguji kebenarannya, pemerintah dapat menghadirkan dan mengonfirmasi seluruh anggota tim terkait dokumen salinan tersebut. Bila perlu, pemerintah mengujinya dengan mengirim orang untuk mengonfirmasi kepada mantan Presiden SBY dan mantan Mensesneg Sudi Silalahi.
Ketiga, bukankah Menlu saat ini, Retno L.P. Marsudi, merupakan bagian dari pemerintahan Jokowi? Artinya, dia bisa memanfaatkan otoritasnya melakukan pengecekan kebenaran salinan dokumen TPF.
Begitu juga sejumlah nama seperti Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Hendardi yang kini penasihat Kapolri, atau aktivis perempuan Kamala Chandrakirana bisa dipanggil kembali untuk konfirmasi dokumen. Artinya, sejumlah anggota TPF Munir yang telah menyerahkan secara resmi di istana bisa segera dipanggil kembali.
Kejahatan Impunitas Penetapan kesembilan dari Keppres No 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir menyatakan bahwa pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan tim kepada masyarakat. Dari sudut hukum tata negara, pemerintah di sini merujuk pada seorang presiden, yang mana dia diserahi mandat oleh konstitusi, khususnya pasal 4 UUD 1945 (presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar).
Wewenang yang demikian besar, dengan kedudukan yang tinggi di suatu negara, menjelaskan apakah sebenarnya negara memiliki kapasitas membongkar suatu kejahatan ataukah tidak. Ataukah, pemerintah itu sendiri terlibat dalam kejahatan sehingga tak pernah serius atau membiarkan impunitas itu terjadi dan menguat.
Dalam buku State crime: governments,violenceandcorruption,Green dan Ward (2004) mengklasifikasikan kejahatan negara sebagai bentuk penyimpangan kelembagaan (organizational deviance). Penyimpangan yang melibatkan kasus pelanggaran HAM dan justru dilakukan atau difasilitasi oleh penguasa dalam rangka memenuhi tujuan kelembagaan negara itu sendiri.
Pembiaran atas tidak adanya pengungkapan kebenaran kasus pembunuhan Munir jelas bentuk kualifikasi pelanggaran HAM. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ”Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”
Norma terkait tiadanya ’’penyelesaian hukum yang adil dan benar” merupakan bentuk pelanggaran HAM. Persoalannya, bagaimana bila pelaku kini bukan sekadar mereka yang merencanakan pembunuhan Munir. Melainkan mereka yang menutupi dan bahkan menghalangi pengungkapan kasus pembunuhan itu?
Bagaimanan juga bila penyimpangan kelembagaan itu bukan hanya satu institusi, melainkan melibatkan banyak kelembagaan negara, banyak aktor, dan dilakukan dengan terang-terangan memanfaatkan mekanisme hukum negara? Bukankah di balik rapinya jaringan yang menutupi kasus pembunuhan Munir ini merupakan kejahatan yang disponsori negara (state sponsored impunity)?
Racun arsenik yang membuat Munir meninggal di pesawat merupakan kejahatan pembunuhan yang terorganisasi. Sedangkan bekerjanya organ ketatanegaraan yang menghentikan, menutupi, dan bahkan menghalangi pengungkapan kasusnya, pula secara terorganisasi, merupakan bentuk kejahatan berikutnya, yakni kejahatan impunitas.
Semoga pemerintahan Jokowi mendayagunakan kekuasaannya untuk mengungkap kasus Munir. Pengungkapan itu bukan semata keadilan bagi korban atau keluarga korban, melainkan keadilan publik untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Semoga demikian!
Dosen hukum tata negara dan HAM, peneliti Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga