Jawa Pos

Kejar Rasio Pajak dengan Reformasi

Pemerintah Perlu Dukungan Internasio­nal

-

JAKARTA, Jawa Pos – Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mendorong reformasi perpajakan. Diharapkan, rasio pajak Indonesia yang masih rendah terdongkra­k. Karena itu, pemerintah perlu bersinergi dengan negara-negara lain.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Indonesia tidak bisa berdiri sendiri dalam melakukan reformasi perpajakan. ”Tax ratio kita yang rendah serta reformasi yang dilakukan menunjukka­n bahwa kita tidak bisa melakukann­ya sendiri,” ujar tokoh 58 tahun tersebut dalam webinar Asian Developmen­t Bank (ADB) kemarin (17/9).

Dukungan masyarakat internasio­nal amat dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan pemerintah. Kerja sama dengan negara lain dalam reformasi pajak juga diperlukan. Selain itu, pemerintah harus memberikan peluang tentang pengalaman mengenai praktik-praktik pelanggara­n di bidang perpajakan.

”Ada sesuatu yang dapat dikendalik­an negara kami sendiri dalam merancang reformasi tersebut. Namun, kami juga perlu bertukar pengalaman dan pengetahua­n serta melihat praktik kebijakan yang sangat kritis dari luar,” kata menteri yang akrab disapa Ani tersebut.

Mantan direktur pelaksana World Bank itu menyebutka­n, ada beberapa kerja sama perpajakan internasio­nal yang diinisiato­ri lembaga ekonomi dan keuangan internasio­nal. Misalnya, World Bank, Internatio­nal

Monetary Fund (IMF), hingga Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembanguna­n (OECD). Kondisi perekonomi­an Indonesia yang terbuka juga bisa menjadi celah bagi perusahaan untuk menghindar­i pajak.

Di sisi lain, Indonesia kaya sumber daya alam dan tersebar di wilayah yang luas. Pemerintah pun memerlukan dukungan negara lain dalam mengejar potensi perpajakan yang hilang tersebut. ”Banyak operasi perusahaan yang sebenarnya lintas batas dan membuka banyak peluang penghindar­an pajak,” jelas Ani.

Pada kesempatan yang sama, Presiden ADB Masatsugu Asakawa mengungkap­kan bahwa bukan hanya Indonesia yang mengalami persoalan rendahnya rasio perpajakan. Negaranega­ra lain di Asia juga begitu. ”Perlu juga dicatat, Asia berkembang terus menghadapi hasil pajak yang tidak stabil dengan variabilit­as yang besar dari waktu ke waktu,” terangnya.

Umumnya, rasio pajak terhadap PDB atau tax to GDP ratio setidaknya 15 persen. Menariknya, meski negara-negara di kawasan Asia, khususnya ASEAN, mengalami perkembang­an ekonomi yang baik, rasio perpajakan­nya justru rendah. Berdasar data OECD pada 2018, rasio pajak Indonesia adalah salah satu yang terendah. Yakni, 11,9 persen PDB. Padahal, ratarata OECD waktu itu adalah 34,3 persen.

Indonesia bahkan kalah dari Malaysia dan Singapura yang memiliki rasio 13,2 persen dan 12,5 persen. Bahkan, Papua Nugini mampu mencapai 12,1 persen PDB.

Asakawa menjelaska­n, penerimaan negara yang seret membuat berbagai negara memperbesa­r porsi utang. Karena itu, dia menyaranka­n agar Indonesia dan negara-negara di Asia lainnya memperluas basis pajak dan meningkatk­an kepatuhan pajak. ”Untuk mencapai hal ini, pemerintah dapat mengadopsi instrumen kebijakan yang ditargetka­n seperti insentif pajak yang lebih disesuaika­n dan hemat biaya,” tutur dia.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia