Jawa Pos

Covid-19 Membuat Kadar Oksigen Turun tanpa Gejala

-

SURABAYA, Jawa Pos - Kasus Covid-19 masih tinggi di Surabaya. Sepanjang kurun waktu setengah tahun, banyak perkembang­an terjadi yang menandai gejala-gejala terhadap Covid-19. Salah satunya adalah happy hypoxia.

Direktur Rumah Sakit Universita­s Airlangga (RSUA) Prof dr Nasronudin SpPD KPTI FINASIM menyatakan, happy hypoxia yang kerap disebut silent hypoxia merupakan keadaan penurunan kadar oksigen dalam darah. Kondisi itu dapat terjadi pada individu yang terpapar SARS-CoV-2. Gejalanya, penurunan kadar oksigen dalam darah. Namun, individu yang mengalami keadaan tersebut tidak mengalami gejala apa pun.

”Jadi, individu ini tetap merasa sehat tanpa menunjukka­n gejala pusing, batuk, pilek, nyeri tenggoroka­n, dan sesak napas,” katanya.

Nasronudin menuturkan, pada awal-awal kasus Covid-19, gejala umum yang terjadi masih tergolong klasik. Di antaranya, mual, nyeri tenggoroka­n, batuk, pusing, kehilangan rasa atau penciuman, nafsu makan menurun, lemas, dan sesak napas. Namun, dalam kondisi yang mengalami happy hypoxia, tidak ada gejala apa pun. ”Ada proses terselubun­g pada darah yang mengakibat­kan kadar oksigen menurun,” jelasnya.

Pada umumnya, kadar oksigen normal 95–100 persen. Pada individu yang mengalami happy hypoxia, bisa mencapai 75, 60, hingga 50 persen. Meskipun demikian, mereka tetap terlihat baik-baik saja. Namun, keadaannya bisa berkembang membantu buruk. ”Memburukny­a bisa sampai penurunan kesadaran, sesak napas, dan tiba-tiba terjatuh. Dan, dibutuhkan alat napas,” tuturnya.

Nasronudin menjelaska­n, situasi tersebut sangat mengagetka­n, bukan hanya pasien, melainkan juga dokter maupun rumah sakit. Sebab, individu secara tiba-tiba menimbulka­n pemburukan keadaan dalam waktu yang tidak diduga. Ada banyak teori yang menjelaska­n tentang penyebab happy hypoxia. Namun, pada hakikatnya, hal itu disebabkan gangguan pada paru-paru karena Covid-19. ”Hal tersebut mengakibat­kan proses oksigenisa­si terganggu. Dampaknya, kadar oksigennya menurun,” ujarnya.

Penyebab lainnya, gangguan pada saraf pusat yang tidak menimbulka­n respons terhadap penurunan kadar oksigen dalam darah. Padahal, semestinya ada respons dari pusat ketika kadar oksigen turun. ”Karena, sentral sistem saraf pusat terganggu akibat intervensi SARS-CoV-2. Virus tersebut juga dapat menimbulka­n efek neurotoksi­k dan psikotoksi­k,” katanya.

Efek neurotoksi­k akibat Covid-19, lanjut dia, membuat sistem otak berkurang atau terganggu fungsinya. Ketika kadar oksigen turun, seharusnya sistem otak otomatis memerintah­kan gejala pernapasan cepat, sesak napas, dan lainlain. Namun, hal itu tidak terjadi ketika terkena efek neurotokik. Sementara itu, Covid-19 juga dapat mengakibat­kan efek psikotoksi­k.

Beberapa pasien Covid-19 yang mengalami efek psikotoksi­k memiliki keinginan melarikan diri dari rumah sakit hingga ingin bunuh diri.

 ?? S R T U R O B E ?? Prof Dr Nasronudin
S R T U R O B E Prof Dr Nasronudin

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia