Efektivitas Hukum Penegakan Protokol Kesehatan
Hari-hari ini di wilayah di Jawa Timur (Jatim) terus-menerus berlangsung operasi kepatuhan protokol kesehatan. Razia melibatkan petugas gabungan, Polri dan satpol PP. Mereka yang melanggar (misalnyatidakmemakaimasker)dikenaisanksiseketika itu juga. Dasarnya adalah Pergub Jatim Nomor 53 Tahun 2020. Tinggal pilih, membayar denda atau melakukan kerja sosial.
Sidang yang memutuskan pelanggarnya bersalah juga dilangsungkan di tempat yang sama. Melibatkan jaksa sebagai penuntut dan hakim sebagai pemutus. Nilai denda untuk pelanggar beragam. Tapi, rata-rata hakim menjatuhkan hukuman denda Rp 250 ribu.
Mereka yang punya duit tentu bisa membayar seketika itu juga. Tapi, bagaimana halnya bila pelanggarnya pedagang buah keliling atau pedagang kecil lainnya? Tentu uang Rp 100 ribu pun sangat berharga. Setelah berkeliling menjajakan buah dari gang ke gang, belum tentu mereka bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Maklum, kemampuan membeli masyarakat juga sedang menurun.
Kadang hakim memutuskan memberikan sanksi melakukan kerja sosial. Menyapu jalan atau fasilitas umum adalah pengganti denda tersebut. Bila hari itu apes, apa boleh buat, kerja sukarela memang harus dilakukan. Besoknya, yang terjadi kucing-kucingan belaka. Tanpa ada petugas, pelanggaran protokol kesehatan dilakukan lagi. Fungsi denda untuk menjerakan pelanggarnya tidak didapatkan.
Penegakan hukum memang menjadi alat membudayakan kepatuhan protokol kesehatan. Namun, seberapa lama langkah itu bisa diterapkan? Seberapa efektifkah penegakan hukumsemacamitu?Semuanyamemangperlu evaluasi. Apakah mengadakan razia di daerahdaerah tertentu mujarab? Bukankah harus melihat seperti apa budaya hukum mereka?
Pemerintah memang harus punya banyak strategi terkait hal tersebut. Tidak bisa sama rata perlakuannya. Bukankah menurut pakar sosiologi hukum Soerjono Soekanto, efektivitas penegakan hukum bisa dipandang dari lima aspek? Faktor hukumnya, penegak hukumnya, sarananya, masyarakatnya, dan budayanya.
Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, rasanya penegakan protokol kesehatan sia-sia belaka. Penegak hukum hanya mendapatkan capek, sedangkan tujuan hukum terlewatkan. Strategi menegakkan protokol harus melihat nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Libatkan orang-orang yang ada di dalam masyarakat. Tanpa itu, tentu langkah-langkah tersebut hanya menguap. (*)