Redup Asa Palestina Merdeka
Pada 1993, harapan Palestina untuk membentuk pemerintahan sendiri muncul dalam penandatanganan Oslo Accord. Sembilan tahun kemudian, harapan mereka menguat setelah Liga Arab merancang Inisiatif Perdamaian Arab atau Arab Peace Initiative. Tahun ini, harapa
KEPERCAYAAN Palestina atas dukungan Liga Arab tak goyah, bahkan saat Uni Emirat Arab (UEA) melakukan perjanjian damai dengan Israel bulan lalu. Saeb Erekat, ketua tim negosiator Palestina, bahkan menantang Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut siapa lagi negara Arab yang bakal memperbaiki hubungan diplomatik dengan Israel.
Saat itu, Erekat sempat menyebut Bahrain. Menurut dia, Bahrain menegaskan komitmen terhadap Arab Peace Initiative saat berbicara via telepon. Enam hari kemudian, Bahrain mengumumkan kesepakatan damai dengan Israel.
”Meski menghadapi semua tantangan, kami tetap mempertahankan hubungan (dengan negara Arab, Red), berharap keajaiban terjadi. Tapi, sepertinya keajaiban itu tak akan terjadi,” ungkap Menteri Luar Negeri Palestinian National Authority (PA) Riyad Al Maliki.
Palestina merasa terkhianati. Mereka sempat menganggap bahwa Liga Arab tak akan berpaling dari sekutu mereka. Apalagi, Palestina merupakan lokasi beberapa aset berharga Islam, salah satunya Masjid Al Aqsa.
Komitmen Liga Arab sebenarnya pernah kuat. Arab Peace Initiative yang dideklarasikan pada 2002 seharusnya ”memaksa” Israel untuk segera menindaklanjuti perjanjian Oslo. Perjanjian tersebut mengatur perbatasan dan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Hal itu sempat membuat Israel terus terisolasi dari tetangganya sendiri selama beberapa dekade.
Namun, perjanjian itu kini tinggal hiasan. Kini empat anggota Liga Arab –Mesir, Jordania, UEA, dan Bahrain– memilih untuk mengampuni Israel. Mosi yang diajukan Palestina untuk mengutuk negara yang berdamai dengan Israel dalam pertemuan Liga Arab gagal diketok. ”Semoga Anda tak pernah dijual oleh teman sendiri,” tulis Hanan Ashrawi, salah seorang pejabat Palestina, seperti yang dilansir Agence France-Presse.
Presiden AS Donald Trump, sosok yang menengahi dua perjanjian damai terakhir, mengatakan ada lima sampai enam negara yang mengantre. Salah satu negara yang disebut adalah Arab Saudi, pentolan sekaligus acuan bagi semua negara anggota Liga Arab.
Raja Salman sudah menegaskan bahwa mereka tak akan membuka jalur
diplomasi dengan Israel selama isu Palestina belum mendapatkan solusi yang jelas. Tapi, banyak pakar yang mengatakan bahwa komitmen Kerajaan Al Saud bisa berubah.
Salah satu tandanya adalah khotbah yang disampaikan Abdulrahman al-Sudais, imam besar Masjidilharam, Makkah, 5 September lalu. Ulama yang ditunjuk langsung oleh kerajaan itu meminta umat Islam untuk tak membenci kaum Yahudi. Pesan tersebut jelas berubah 180 derajat jika dibandingkan khotbah beberapa tahun lalu tentang Palestina.
”Khotbah ini berfungsi untuk mengetes reaksi publik. Sekaligus mulai menyebarkan kemungkinan normalisasi (dengan Israel, Red),” papar Marc Owen Jones, pakar dari Institute of Arab and Islamic Studies di University of Exeter, kepada Al Jazeera.
Aktivis hak sipil asal Gaza Muhammad Shehada mengatakan, otoritas Palestina juga punya andil atas hilangnya dukungan Arab. Dia mengatakan wajar jika negara otokrat di jazirah Arab lebih mementingkan persoalan dalam negeri. Apalagi, isu di Timur Tengah bukan hanya soal Palestina. Masalah ISIS, Iran, dan Covid-19 jauh lebih penting.
”Kalau saja masyarakat Palestina bisa melakukan pemilu terkait pemimpin, lalu bersatu untuk menggugah dunia, pasti kedaulatan bisa datang,” ungkap mahasiswa dari Lund University, Swedia, itu.
Pakar politik internasional mengatakan, ada dua negara yang sampai sekarang masih vokal membela Palestina. Yakni, Iran dan Turki. Dilemanya, Iran saat ini menjadi musuh Liga Arab. Begitu juga Turki yang berselisih dengan Arab Saudi soal kasus pembunuhan Jamal Khashoggi.
”Palestina tak boleh terlibat dalam perang kekuasaan di Timur Tengah. Kalau tidak, ia akan kehilangan dukungan,” ungkap analis asal Palestina Ghassan Khatib.