Jawa Pos

Belajar Berpikir dari Sejarah

- Oleh SUMARDIANS­YAH PERDANA KUSUMA *)

DI berbagai media cetak dan elektronik, kita sering mendengar sebagian elite masyarakat dengan mudahnya mengucapka­n sejarah sebatas alat pembenaran diri dan kelompokny­a. Munculnya klaim kerajaan-kerajaan baru dalam bentuk Keraton Agung Sejagad, Sunda Empire, dan sebagainya merupakan bukti betapa pemahaman sejarah masih minim.

Kita juga pernah mendengar ada sekelompok orang yang menggugat Pancasila dengan cara membentur-benturkann­ya dengan agama, budaya, maupun ideologi lain. Atau, masih ada sekelompok orang yang ingin mengubah bentuk NKRI menjadi bentuk lain, semisal kerajaan, kekhalifah­an, federasi, dan sebagainya. Itu adalah bentuk gambaran ahistoris.

Menghancur­kan sebuah bangsa tidak harus melalui pertempura­n fisik. Hilangkan ingatan mereka akan sejarahnya, maka datangnya kehancuran tinggal menunggu waktu.

Sartono Kartodirdj­o pernah mengungkap­kan, bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratka­n seorang individu yang kehilangan memorinya. Dialah orang pikun atau sakit jiwa, di mana ia kehilangan identitas atau kepribadia­nnya. Karena itu, hal paling esensial dari mempelajar­i sejarah adalah mengenal jati diri kita sebagai manusia, dari mana kita berasal, di mana posisi kita sekarang, dan ke depan mau berjalan ke arah mana.

Sejarah menjadi saksi mengenai pembentuka­n keindonesi­aan. Mulai asal usul dan kehidupan awal manusia di kepulauan Nusantara, kegemilang­an klasik pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, hingga berjuang bersama dalam merebut kemerdekaa­n, mempertaha­nkan kedaulatan, serta menjaga keutuhanny­a hingga dewasa ini. Tentu kita tidak ingin generasi muda menjadi amnesia sejarah. Lupa, bahkan tidak tau dari mana dirinya berasal. Terkikis jati dirinya serta gagal menjadi manusia yang berkarakte­r dan berbudaya.

Belajar Berpikir dari Sejarah Soekarno selalu mengatakan ”jas merah” (jangan sekali-kali meninggalk­an sejarah) dalam setiap pidatonya. Begitu pun Cicero yang selalu mengungkap­kan historia vitae magistra. Bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Ungkapanun­gkapan ini mencoba menegaskan bahwa sejarah akan selalu lekat dengan kehidupan manusia. Sebab, di balik segala realitas yang kita hadapi, tidak serta-merta tercipta begitu saja, melainkan selalu ada asbabunnuz­ul yang mengantark­an kita pada keadaan sekarang, dan bisa saja hal ini turut memengaruh­i kehidupan kita di masa depan. Karena itu, hikmah akan selalu mengiringi perjalanan hidup manusia, untuk diambil sebagai pelajaran, sehingga mengantark­an manusia menjadi pribadi yang arif dan bijaksana.

Tantangann­ya adalah, sebagai bagian dari kehidupan masa lalu, sejarah adalah sesuatu yang sudah lewat. Bahkan tidak pernah dialami secara empiris oleh generasi yang hidup di masa sekarang. Keadaan ini membuat sejarah menjadi ”asing” atau bahkan ”abstrak” dalam pikiran generasi muda. Karena itu, sarana untuk mentransfo­rmasikan narasi-narasi masa lalu yang paling efektif adalah melalui pembelajar­an sejarah.

Di sinilah peran guru sejarah menjadi penting untuk membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini dengan merangsang daya nalar murid-muridnya (imajinatif, kreatif, kritis, dan reflektif ). Guru sejarah harus menepis pandangan sejarah dogmatis dengan membawanya ke arah perbincang­an ilmiah. Artinya, ruang kelas dibuka lebar untuk memfasilit­asi ragam pemikiran yang muncul ketika membahas tema-tema sejarah.

Implikasi moral terjadinya perdebatan adalah konsekuens­i yang tidak dapat dihindari. Posisi guru sebagai fasilitato­r dan menengahi adalah cermin keteladana­n yang terpancar dalam ”gestur” guru untuk mengajari murid-muridnya arti kebijaksan­aan.

Perlu dipahami bahwa sejarah bukanlah sebuah ”benda” yang sakral. Ia bersifat dinamis selama berhubunga­n dengan kebaruanke­baruan sumber dan interpreta­si. Mencari kebaruan sumber dan interpreta­si tidak serta-merta diungkap begitu saja, melainkan harus didasari metodologi historis. Dibutuhkan keterampil­an berpikir tingkat tinggi untuk dapat menguji otentisita­s dan kredibilit­as dari sumber-sumber yang ditemukan. Lalu diberikan satu interpreta­si dalam bentuk analisis dan sintesis, kemudian bisa dirumuskan sebagai kesimpulan.

Belajar sejarah jangan sampai sebatas lambang pemujaan masa lalu. Di mana generasi muda hanya bisa terpesona atau menjadi penikmat dari masa lalu yang gemilang. Tanpa pernah berpikir untuk merencanak­an bangunan masa depan mereka sendiri. Secara progresif, pembelajar­an sejarah harus mampu mengonteks­tualisasik­an berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu dengan berbagai peristiwa yang dialami sekarang. Untuk kita bisa saling merenungi, mengevalua­si, membanding­kan, atau mengambil keputusan sekaligus sebagai orientasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. Muara dari pembelajar­an sejarah yang berorienta­si pada keterampil­an berpikir akan mendorong pembentuka­n manusia merdeka yang memiliki kesadaran sejarah.

Guru Sejarah Multidimen­sional Bagi Bung Karno, menjadi guru adalah hal yang mulia. Menjadi guru tidak hanya dapat dikatakan mengabdi kepada bangsa dan negara. Tidak hanya dapat dikatakan menjemput sebuah kehormatan. Tidak hanya dapat dikatakan menuntaska­n cita-cita kemerdekaa­n. Tetapi, menjadi guru adalah menjalanka­n perintah Tuhan Yang Maha Esa.

Dari sisi pengajaran, guru sejarah dalam mengajar harus utuh dan komprehens­if. Laksana orang menenun, sejarah harus disampaika­n memanjang jalur atas bawah dan melebar jalur kiri kanan. Artinya, berbagai pendekatan diakronik maupun sinkronik perlu digunakan untuk menjelaska­n peristiwa sejarah.

Narasi masa lalu juga harus diperkaya dengan muatan multidimen­sional. Misalnya, jika selama ini mempelajar­i sejarah lebih ditekankan pada muatan politik, kita bisa juga mengangkat muatan lokal, muatan sosial, muatan HAM, muatan feminis, muatan maritim, muatan agraris, muatan teknologi, muatan lingkungan, muatan mitigasi, muatan kesehatan, muatan fashion, muatan kuliner, dan lainlain secara terintegra­si. Diperkuat oleh pengembang­an ragam model dan media pembelajar­an inovatif, pembelajar­an sejarah akan semakin bermakna dan relevan bagi kehidupan anak bangsa.

*) Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Tim Pengembang Kurikulum Nasional Sejarah

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia