Jawa Pos

Sudahi Permainan Hantu Komunisme

-

TIAP tahun, pada akhir September, selalu muncul ritual menjemukan, yakni soal peringatan hantu komunisme. Terakhir, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menyatakan bahwa dirinya sudah mencium kebangkita­n komunisme sejak 12 tahun terakhir.

Tanpa mengurangi rasa hormat ke mantan panglima TNI, semua sudah tahu bahwa awas komunisme lebih merupakan warning semu. Sebab, fakta objektifny­a, secara ideologis, komunisme sudah tumbang. Di Indonesia, selepas 1966, PKI sudah dihabisi hingga ke akar-akarnya. Jadi, pernyataan-pernyataan sejumlah tokoh seperti Mayjen TNI (Purnawiraw­an) Kivlan Zein beberapa tahun lalu, yang menyebut adanya kebangkita­n neokomunis­me dengan sudah punya banyak pengikut, terasa melebih-lebihkan.

Di dunia ini, banyak negara yang sudah meninggalk­an komunisme. Uni Soviet sudah bersalin rupa menjadi Rusia; Yugoslavia sudah ambyar menjadi banyak negara pecahan. Lalu, Tiongkok? Meski memang secara resmi ideologi yang disebutkan adalah komunis, siapa pun tahu bahwa prinsip ekonomi yang dijalankan adalah kapitalism­e. Hanya, yang jadi aktor utama adalah negara. Kapitalism­e negara. Seperti Singapura.

Selain itu, pernyataan sudah banyak kader komunis di Indonesia terasa janggal karena satu hal. Yakni, siapa memang yang berani mengaku komunis di Indonesia? Tidak akan ada yang berani. Karena satu hal: golek molo atau cari penyakit.

Juga, penyebutan komunis ke seseorang masih menjadi senjata ampuh untuk mendelegit­imasi lawan politik. Meski ampuh, senjata tersebut tidak elok. Sebab, komunis di Indonesia kini sudah bukan seperti definisi aslinya: ”tatanan komunitas yang dari setiap orang sesuai kemampuann­ya, untuk setiap orang sesuai kebutuhann­ya”. Sekarang ini komunis adalah sejenis sosok hantu yang liyan. Sesuatu yang buruk, tak beragama, penjahat, sadis, tak beretika, dan segala sesuatu yang jelek.

Dianggap komunis berarti orang itu berhak dicerabut hak-hak kemanusiaa­nnya. Boleh dibunuh. Harus dijauhi. Dan segenap perbuatan yang tak mengindahk­an kemanusiaa­n lagi. Sudah waktunya menyudahi ritual tahunan yang lebih bernuansa melenyapka­n lawan politik ini. Tak perlu lagi berteriakt­eriak awas komunis, awas komunis, tapi tak pernah bisa mengidenti­fikasikan satu orang pun pengikut komunis dan membuktika­nnya.

Kita sedang menghadapi resesi. Juga pandemi. Hal-hal seperti itulah yang lebih layak mendapat perhatian untuk diselesaik­an. Bukan kemudian mengalihka­n ke hal-hal absurd tahunan yang tak pernah terbukti. (*)

 ?? BAGUS/JAWA POS ??
BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia