Jawa Pos

G 30 S dan Orde Belah Bambu

-

Entah sampai kapan kita akan bisa lebih ayem dalam datangnya 30 September. Tahun ini pun diwarnai kembali jargon-jargon ”neo-PKI bangkit” yang riuh di media sosial. Penajaman opini terjadi karena di sisi lain ada kalangan yang terus mendesakka­n ”sejarah alternatif”. Yakni, berupaya meringanka­n atau bahkan meniadakan status PKI sebagai dalang gerakan berdarah 55 tahun itu.

Kehebohan tahunan menjelang 30 September tersebut terjadi sejak Pak Harto tumbang 1998. Suasana demokratis yang baru terbentuk membanjirk­an tafsir alternatif G 30 S. Tak lagi narasi tunggal PKI (yang dianggap anak emas Bung Karno) sebagai dalang kup, tetapi disesakkan dalang alternatif seperti Angkatan Darat, CIA, Soeharto, atau siapa saja selain PKI (dan Bung Karno). Meskipun, sangat mustahil membersihk­an tangan PKI dari peristiwa kotor itu. Buktibukti­nya teramat banyak.

Kabar baiknya, setelah era Pak Harto berlalu, golongan eks komunis dan keluargany­a sebenarnya sudah dipulihkan hak-hak politiknya. Ditiadakan­lah tanda ET (eks tahanan politik) di KTP, juga skrining ”bersih diri” dan ”bersih lingkungan”. Anak turun mereka sudah bisa leluasa memasuki banyak sektor, termasuk sektor pemerintah­an. Itu patut disyukuri karena memang tak bagus terusmener­us menstigma golongan masyarakat, apalagi jumlahnya besar.

Tapi, untuk kebangkita­n PKI sebagai partai secara formal jelas tidak mungkin. Ada penghalang besar bernama Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, tak ada yang bisa mencabut ketetapan MPRS itu. Jadi, pintu hukum mengunci rapat bagi kebangkita­n PKI dan kuncinya sudah dibuang.

Namun, sebagai individu, mereka bebas menyalurka­n hak politiknya. Ke partai-partai apa mereka menyalurka­n hasrat politiknya, kita hanya bisa meraba-raba. Memang sudah diberi kebebasan dan sudah bukan zamannya ada ”dosa politik turunan” seperti zaman otoriter.

Pelajaran pahit terpenting dari orde saat PKI berjaya adalah soal pemecahbel­ahan masyarakat. Kelompok, aliran, dan golongan diadu satu sama lain. Mereka saling menyakiti secara verbal di ruang publik. Yang menyedihka­n, rezim memihak siapa pun yang mengikuti jargonnya. Misalnya, belah bambu, satu diangkat, yang lain diinjak. Termasuk melalui agresi fisik dan verbal sepihak serta pilih kasih hukum. Padahal, politik belah bambu itu jelas tidak Pancasilai­s, bukan? (*)

 ?? ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS ??
ILUSTRASI BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia