Siapa Menulis Kisah Hidupku dengan Jujur, Dia Akan Beruntung
Setelah sempat putus asa, Reni Nuryanti mendadak dikontak cucu Inggit Garnasih dan mendapat setumpuk dokumen serta catatan. Penelitiannya diganjar penghargaan dan membawanya ke istana untuk bertemu presiden.
”SAYA berdoa suatu saat akan datang seseorang yang menuliskan kisah nenek saya,” ujar Tito Asmara Hadi, putra pertama Ratna Juami, anak angkat Inggit Garnasih, selepas meletakkan setumpuk dokumen tentang neneknya di hadapan Reni Nuryanti.
Ketika itu, Desember 2006, Reni baru tiga bulan sebelumnya menyelesaikan skripsi di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Karya ilmiah setebal 370 halaman itu mengkaji kisah cinta antara Inggit dan Soekarno yang ditulis Ramadhan Karta Hadimadja.
Namun, setelah karya ilmiah berjudul Dinamika Kehidupan Inggit Garnasih dalam Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1921– 1943 itu rampung pun, Reni tetap belum puas. Dalam benaknya, kisah Inggit dan Soekarno tidak berhenti sampai 1943 ketika keduanya bercerai.
Bagaimanapun, Inggit adalah perempuan yang menemani dan ”membesarkan” Kus, sapaan akrab Soekarno, hingga menjadi seorang tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia. Apalagi, selepas 1943, Inggit seperti hilang dari sejarah
Kebanyakan orang hanya mengingat bahwa Fatmawati yang mendampingi Soekarno saat masa-masa terberat kelahiran Republik Indonesia.
Reni yang menyelesaikan S-2 di Universitas Gadjah Mada pun ingin membawa karya ilmiahnya itu ke dalam format buku. Tapi, jelas dia harus melengkapi datanya. Dan, itulah yang membawanya ke Bandung.
Siang itu, Tito menyerahkan sebuah buku kecil kepada Reni. Buku tersebut adalah kumpulan catatan pribadi pria bernama asli Tito Zeni Harmaen itu tentang sang nenek yang ditulisnya sendiri.
Sebagian besar kisah hidup didapatkan dari memorinya tentang sang nenek. Juga dari sang ayah, Asmara Hadi, dan sang ibu, Ratna Juami.
Ratna diadopsi Inggit sejak bayi. Satu anak angkat lainnya bernama Kartika.
”Maka, saya serahkan buku ini. Nenek pernah berpesan, siapa yang menuliskan kisah hidupku dengan jujur, dia akan mendapatkan keberuntungan hidup. Semoga itu adalah Mbak Reni,” kata Tito seperti ditirukan Reni.
Ketika dihubungi Jawa Pos secara terpisah, Tito mengaku menyimpan dan merawat dokumendokumen tersebut sejak 1980. Berikut barang-barang pribadi Inggit lain yang juga diamanahkan kepadanya. Termasuk catatan pribadi sang ayah, Asmara Hadi.
Saat Reni bertamu ke rumahnya pada Desember 2006 itu, Tito tidak ragu memercayakan penulisan kisah neneknya tersebut kepadanya. ”Naluri saja ya. Saya tahu Mbak Reni itu orang baik,” ungkap Tito.
Kisah Inggit-Soekarno mencuat lagi setelah pekan lalu akun Instagram Popstoreindo mengunggah surat nikah dan akta cerai keduanya. Dua dokumen bersejarah itu ditawarkan Rp 25 miliar. Menurut Yulius Iskandar, founder Popstoreindo, pemilik dua dokumen tersebut Tito.
Tapi, belakangan, perwakilan keluarga besar Inggit menemui Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dalam kesempatan itu, mereka menyatakan untuk menyerahkan dua dokumen tersebut ke negara. Kompensasi kepada keluarga akan disesuaikan dengan regulasi yang berlaku.
Begitu menerima tumpukan dokumen dari Tito itu, Reni merasa terbayar sudah perjuangannya mengelilingi Bandung di tengah panasnya Ramadan selama beberapa hari. ”Ada surat kawin dan cerai Bung Karno dan Bu Inggit yang berbahasa Sunda itu. Ada dokumen, catatan, foto-foto pertemuan keduanya. Termasuk saat putraputri Bung Karno; Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati; berkunjung ke rumah beliau di Bandung,” tutur Reni kepada Jawa Pos Rabu lalu (29/9).
Liku-liku perjuangan menemukan dokumen sejarah tersebut Reni tuliskan dalam memoar pribadinya yang belum dipublikasikan. Reni mengizinkan Jawa Pos untuk melihat sebagian memoar tersebut.
Reni berangkat ke Bandung dari kampung halamannya di Cilacap, Jawa Tengah, untuk berburu data, dokumen, dan wawancara dengan ongkos seadanya. Diantar sepupunya yang bekerja di ibu kota Jawa Barat tersebut, dia tidak menemukan apa-apa di bekas kediaman Inggit dan tempat kos Bung Karno.
Diperlukan perjuangan yang tidak mudah sampai Reni menemukan seseorang yang mengaku memiliki semua dokumen sejarah tentang Inggit Garnasih. Orang tersebut menyatakan bersedia memberikan akses kepada Reni jika dia mau membayar uang sekian juta rupiah. Jumlah yang mustahil dibayarkan seorang mahasiswa yang baru saja lulus S-1.
Seketika semua sukacita yang sempat berbunga luruh dihanyutkan kekecewaan. Reni pulang ke kontrakan sepupunya dengan tangan hampa.
Namun, seperti yang dituliskan Reni dalam memoarnya, Tuhan maha memudahkan. Malam harinya Reni menerima pesan dari keluarga Tito. Memintanya untuk datang ke rumah mereka di Perumahan Margajaya, Bandung. Di situlah Reni menemukan apa yang dia cari selama ini.
”Saya utarakan ke Pak Tito bahwa saya ingin menuliskan kisah Bu Inggit dalam sebuah buku. Pak Tito bilang dia perlu mempersiapkan semua dokumen. Saya disuruh datang lagi seminggu setelah Lebaran,” kenang Reni.
Tito juga berpesan kepada Reni untuk tidak lagi menghubungi orang yang meminta bayaran tersebut. Reni pun pulang lagi ke Cilacap. Dan, seminggu setelah Lebaran, seperti yang dijanjikan Tito, Reni berangkat kembali ke Bandung berbekal uang 300 ribu rupiah. Seratus tiga puluh ribu rupiah di antaranya langsung ludes untuk tiket travel ke Bandung.
Sisa uang tentu akan habis untuk biaya selama penelitian di Bandung. Reni bahkan belum memikirkan akan dapat ongkos pulang dari mana.
Di Perumahan Margajaya, Tito dan istri menyambut Reni dengan hangat. Tito juga sudah mempersiapkan ibunya, Ratna Juami, untuk diwawancarai.
Reni duduk di samping Ratna yang tengah menyulam. Pendengaran perempuan berusia 83 tahun tersebut, kenang Reni, sudah melemah. Namun, ingatannya tentang ibu dan papa angkatnya masih sangat kuat.
Ada nuansa getir saat Ratna mengenang masa-masa kecilnya di Bengkulu. Saat dia tahu papanya jatuh cinta kepada temannya sendiri, Fatmawati.
Namun, sebagaimanapun kesalnya, dia mengaku tetap mencintai ayah angkatnya tersebut. ”Papa Soekarno itu hebat. Papa berjuang untuk kemerdekaan. Kami sangat mencintainya,” tutur Ratna.
Reni pun menginap dua malam di kamar yang ditempati Inggit sampai wafat. Dua minggu dia habiskan untuk menulis dan mengumpulkan data.
Sementara itu, Tito mengantarkannya men-scan semua dokumen tersebut. Semua salinan diberikan kepada Reni secara gratis.
Selama dua minggu itu Reni menumpang dari kontrakan sepupunya, bibinya, tukang bakso, hingga tukang bubur. Sesuai dengan perkiraan, uang saku dari ayahnya habis.
Reni terpaksa menjual satusatunya cincin pemberian kakeknya untuk mendapatkan ongkos pulang ke Cilacap. Namun, dia pulang dengan langkah ringan membawa harta yang sangat berharga: kisah keteladanan Inggit Garnasih.
Simbol kesabaran dan kesetiaan seorang perempuan. Naskah yang dia tulis kemudian terbit pada 2007 dengan judul Perempuan dalam Hidup Sukarno: Biografi Inggit Garnasih.
Buku itu juga yang melejitkan namanya menjadi seorang peneliti, sejarawan, dan penulis buku. Juga mengantarkannya menerima penghargaan Peneliti Muda PPMI LIPI Terbaik Tahun 2008 sekaligus berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada tahun yang sama.
”Jadi, Bu Inggit turut berjasa mengantar saya ke istana,” tutur Reni seraya menyertakan emoji senyum saat dikontak lagi melalui WhatsApp.
Selepas 1943, Inggit hanya sempat bertemu Soekarno sekali sebelum Soekarno wafat dan dimakamkan di Blitar. Reni menuliskan, saat acara pemakaman tersebut, seorang wartawan mendekat dan bertanya kepada Inggit. ”Apa saja yang Ibu terima dari harta pusaka peninggalan Bapak?”
Inggit menjawab, ”Negara kita ini, untuk kita semua, seluruh rakyat, dan untuk semua keturunan bangsa kita.”
”Maksud saya harta pusaka untuk Ibu pribadi.”
Lagi, Inggit menjawab dengan mantap. ”Kenangan yang tak terlupakan, yang Ibu simpan di dalam hati, yang akan menemani Ibu masuk ke dalam kubur,” jawab Inggit sebagaimana yang ditulis Reni.