Anggaran Pilkada Nyangkut Rp 508 M
Dana Pengamanan Paling Tersendat
JAKARTA, Jawa Pos - Pelaksanaan pilkada 2020 sudah memasuki tahap kampanye. Namun, sejumlah penyelenggara daerah masih terkendala pembiayaan. Belum dilunasinya dana pilkada yang disepakati dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) menjadi penyebab.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan, secara akumulasi nasional, pelunasan anggaran untuk KPU dan Bawaslu sudah di atas 98 persen. Namun, jika diperinci per daerah, banyak yang belum tuntas pencairannya.
”Ada beberapa kabupaten/kota yang belum mengalokasikan 100 persen,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Pilkada 2020 secara daring kemarin (30/9).
Untuk KPU, lanjut Tito, dari 270 daerah pelaksana pilkada, masih ada 10 daerah yang menunggak pelunasannya. Yakni, Waykambas, Paser, Timur Tengah Utara, Merauke, Sumba Barat, Raja Ampat, Waropen, Boven Digul, Keerom, dan Kota Bandar Lampung.
Sementara itu, untuk Bawaslu, masih ada 11 daerah yang belum melunasi. Yakni, Manokwari Selatan, Sumba
Barat, Boven Digul, Merauke, Supiori, Kabupaten Halmahera Utara, Kota Bandar Lampung, Raja Ampat, Pegunungan Bintan, Keerom, dan Waropen.
Di luar alokasi KPU-Bawaslu, pencairan anggaran pengamanan TNI/ Polri lebih tersendat. Tito menjelaskan, secara keseluruhan, realisasinya baru 73,42 persen. Tercatat ada 4 provinsi dan 125 kabupaten/kota yang belum lunas. Jika diakumulasikan, total tunggakan NPHD untuk KPU, Bawaslu, dan TNI/Polri mencapai Rp 508,9 miliar.
Tito meminta daerah yang belum menyelesaikan untuk segera menuntaskan kewajibannya. Sebab, saat ini pilkada sudah memasuki tahap kampanye. Untuk pengamanan misalnya, kebutuhan anggaran tidak hanya digunakan pada hari H pemungutan suara. Pada masa kampanye, pengamanan juga sudah menjadi kewajiban.
”Itu semua memerlukan biaya. Belum lagi alat proteksi bagi petugas pengamanan,” terangnya. Untuk mencari tahu sumber persoalan, mantan Kapolri itu akan menginstruksi Inspektorat dan Ditjen Keuangan daerah untuk melihat persoalan di setiap daerah.
Di sisi lain, desakan penundaan pelaksanaan pilkada pada masa pandemi kembali muncul. Ketua Bidang Penegakan
Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan, jika pilkada tetap digelar, itu akan mendatangkan lebih banyak keburukan.
”Kebutuhan rakyat sekarang ini adalah kesehatan dan keselamatan jiwa daripada pelaksanaan pilkada 2020,” ujarnya dalam diskusi.
Meski protokol kesehatan sudah diatur, Busyro menilai interaksi sulit dihindari. Apalagi, jika menilik pemilu di Indonesia, selalu ada konflik di beberapa titik di daerah. Pada masa pandemi, tingkat risikonya jadi lebih tinggi. Jika muncul konflik, potensi penularan Covid-19 juga terjadi.