Jawa Pos

Kontekstua­lisasi Kesaktian Pancasila

- ARWANI THOMAFI *) *) Ketua Fraksi PPP Majelis Permusyawa­ratan Rakyat RI

SETIAP 1 Oktober diperingat­i sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) (G 30 S/PKI) menjadi latar peringatan tersebut. Negara, melalui Tap MPRS No XXV/Tahun 1966, juga telah membubarka­n PKI dan melarang penyebaran paham marxisme dan leninisme.

Pada peringatan tahun ke-53 Hari Kesaktian Pancasila sejak diterbitka­n Keppres No 153 Tahun 1967, dibutuhkan pemaknaan ulang dan reaktualis­asi atas peringatan tersebut. Tujuannya, agar tetap kontekstua­l dengan perkembang­an zaman dan kebutuhan bangsa.

Sebagaiman­a dalam konsideran keppres yang ditandatan­gani Pejabat Presiden Soeharto pada 27 September 1967, disebutkan bahwa peringatan Hari Kesaktian Pancasila dimaksudka­n untuk memperteba­l dan meresapkan keyakinan akan kebenaran dan kesaktian Pancasila sebagai satusatuny­a pandangan hidup yang dapat mempersatu­kan seluruh negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Tentu, peristiwa G 30 S/PKI menjadi latar belakang lahirnya keppres tersebut.

Kendati peristiwa G 30 S/PKI sebagai ratio legis munculnya keppres tersebut, benang merah dari peristiwa itu tak lain berupa gerakan untuk mengganti ideologi Pancasila. Dalam konteks ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila harus dimaknai lebih luas lagi yang tidak sekadar perkara gerakan PKI.

Pemaknaan harus diperluas dengan memaknai bahwa segala bentuk yang merongrong ideologi Pancasila harus dicegah dan dilawan bersama. Karena kita sepakat bahwa Pancasila telah final sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dapat mempersatu­kan seluruh negara, bangsa dan rakyat Indonesia, sebagaiman­a yang tertuang dalam konsideran di Keppres No 153 Tahun 1967.

Pancasila Lumpuh

Komitmen untuk mewujudkan kesaktian Pancasila melalui rumusan peraturan perundang-undangan senantiasa mengalami tantangan. Dalam praktiknya, tidak sedikit peraturan kebijakan yang diterbitka­n negara justru bertentang­an dengan konstitusi. Alih-alih, nilai-nilai Pancasila menjadi sakti, jika tak hati-hati, rumusan peraturan perundangu­ndangan tersebut justru melumpuhka­n nilai-nilai Pancasila.

Data di Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap­kan, sepanjang 2003–2020, sebanyak 265 undangunda­ng (UU) telah dibatalkan. Inkonstitu­sionalitas sebuah UU tersebut tak lain karena bertentang­an dengan UUD 1945 yang di dalamnya bersumber dari Pancasila sebagai sumber dan dasar dalam pembentuka­n batang tubuh UUD 1945 (Maria Farida Indrati S., 2007).

Masalah substansia­l lainnya yang kerap menjadi persoalan dalam penyusunan peraturan perundangu­ndangan tak lain adalah partisipas­i masyarakat. Implementa­si kedaulatan rakyat yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945

kerap menjadi titik krusial dalam pembentuka­n peraturan perundang-undangan. Padahal, semestinya konsepsi daulat rakyat dapat diuraikan dalam bentuk keterhubun­gan kekuasaan administra­tif badan pembentuk undang-undang dengan kehendak warga negara (F. Budi Hardiman, 2009).

Keterhubun­gan rakyat dan wakil rakyat semestinya tidak sekadar hubungan fisik yang disimplifi­kasi melalui kegiatan reses atau kunjungan kerja di daerah pemilihan (dapil). Namun, lebih substansia­l lagi, keterhubun­gan tersebut juga diwujudkan dengan ketersambu­ngan batin warga negara dengan badan negara dalam merumuskan kebijakan publiknya.

Aspirasi warga negara itu, jika ditarik lebih jauh, tak lain merupakan cita hukum (rechtsidee) masyarakat Indonesia yang juga disebut sebagai Pancasila. Dengan kata lain, agar Kesaktian Pancasila ini senantiasa sakti dengan wujud kebijakan publik, tak ada pilihan lain, Pancasila harus senantiasa hadir lahir dan batin, baik dalam pembentuka­n maupun dari sisi materialny­a.

Dari sisi prosesnya, perwujudan daulat rakyat harus betul-betul hadir dengan menjadikan aspirasi rakyat sebagai basisnya. Sementara itu, dari materi peraturan perundang-undangan, secara substansia­l setiap rumusan norma dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh menyimpang dari konstitusi dan Pancasila.

Kesaktian Pancasila di Kebijakan Publik

Perluasan makna tentang Kesaktian Pancasila dapat diwujudkan dengan memastikan setiap produk hukum yang diterbitka­n negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak keluar dari nilai dan spirit Pancasila. Hal itu sejalan dengan posisi Pancasila sebagai

staat fundamenta­l norm atau norma dasar negara. Implementa­si dari hal tersebut, Pancasila menjadi ”bintang pemandu” (leitstern) yang memberikan pedoman dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan. Pancasila yang merupakan rechtsidee mengarahka­n hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. (A. Hamid S. Attamimi, 1990).

Di sinilah relevansi kesaktian Pancasila. Karena dengan kedudukan yang dimilikiny­a, Pancasila menjadi kompas bagi penyelengg­ara negara dalam merumuskan setiap kebijakan publik agar tidak keluar dari bingkai dan spirit Pancasila.

Kesaktian Pancasila terkait perumusan kebijakan publik melalui peraturan perundang-undangan secara eksplisit juga tertuang dalam Pasal 2 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentuka­n Peraturan perundangu­ndangan. Disebutkan bahwa

”Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”.

Dari sisi masyarakat, posisi Pancasila secara khusus dan empat pilar berbangsa secara umum telah dipahami dengan baik oleh masyarakat. Setidaknya, temuan riset yang dilakukan MPR periode 2014–2019 lalu (Ma’ruf Cahyono, 2019) mengungkap­kan, sebanyak 32,8 persen masyarakat Indonesia atau sebanyak 87 juta orang telah mengikuti sosialisas­i empat pilar.

Bukan sekadar itu, dalam riset tersebut juga terungkap sebanyak 99,8 persen warga Indonesia mengakui Pancasila sebagai ideologi negara dan sebanyak 97,8 persen warga Indonesia mengakui UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Temuan tersebut menunjukka­n dari sisi masyarakat, Pancasila dan pilar kebangsaan lainnya telah dipahami cukup baik di tengah masyarakat.

Kini, tantangan utama dalam memastikan kesaktian Pancasila terletak pada perumus undangunda­ng (law maker), yakni legislatif dan presiden untuk membentuk kebijakan publik yang sesuai dengan nilai dan spirit Pancasila. Kesaktian Pancasila harus tertuang dalam setiap rumusan kebijakan publik melalui peraturan perundangu­ndangan. Selamat memperinga­ti Hari Kesaktian Pancasila.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia