Jawa Pos

Terlecut Obrolan Simbok dan Kedua Kakak saat Kelas IV SR

Sampai kelas IV SR, Budiyanto tak bisa membaca. Hanya menulis dan berhitung. Signalong yang dikembangk­annya lebih banyak menggunaka­n satu isyarat untuk satu kata, bukan satu isyarat untuk satu huruf.

- SHABRINA PARAMACITR­A,

SIANG itu Budiyanto kecil berjalan pulang dari sekolah menuju rumahnya di Sleman, Jogjakarta. Sesampai di depan rumah, dia menghentik­an langkah, tak langsung masuk.

Anyaman gedek yang menyelimut­i orang-orang dan seisi rumah itu membuat suara obrolan dari dalam rumah terdengar sayup-sayup ke telinga Budi

’’Wis, adikmu ojok kok takoni munggah opo ora munggah. Sing penting dekne gelem sekolah (Sudah, adikmu jangan ditanyai naik kelas atau tidak. Yang penting dia mau sekolah, Red).’’

’’Itu suara simbok,’’ batin Budi. ’’Kok simbok ngomong begitu?’’ tanyanya dalam hati yang mulai kelu mendengar kalimat sang ibu.

Budi lantas melangkah masuk ke rumah. Perasaanny­a begitu tercabik-cabik melihat simboknya, Sugiyem, ngobrol bertiga dengan kakak-kakaknya, Wajinem dan Tugiyati. Rupanya, keluargany­a sendiri menganggap Budi adalah anak yang bodoh. Padahal, sepengetah­uan Budi, studinya di Sekolah Rakyat (SR/setingkat SD sekarang) Krisan, Banyurejo, cukup baik dan lancar-lancar saja.

Dada Budi pun sesak. Pelupuk matanya sebak. Tetesan air bening mengalir dari ujung mata anak kecil itu, membasahi siang yang begitu terik dan bolong.

Ingatan peristiwa saat Budi duduk di kelas IV SR itu sangat membekas di hatinya. Budi mengakui, sampai kelas IV SR, dirinya memang tak bisa membaca.

Bisanya hanya menulis dan berhitung. Namun, dengan segenap usaha untuk belajar, pada kelas VI, dia sukses melewati ujian negara dan berhasil lulus dari SR. Dari 40 siswa, hanya 3 orang yang dinyatakan lulus. Budi salah satunya.

Budi pun melanjutka­n pendidikan ke jenjang berikutnya. Namun, mentalnya telanjur terguncang akibat peristiwa di siang bolong itu, saat dia masih kelas IV SR.

Barulah saat mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Jogjakarta, Budi menemukan fakta baru. Di sekolah setara perguruan tinggi itu, dia mendapati bahwa dirinya pernah mengalami kesulitan belajar.

’’Saya menderita specific learning difficulti­es. Itu adalah kesulitan belajar anak di bidang reading (membaca), writing (menulis), dan arithmetic (aritmetika). Nah, saya kesulitan dalam bidang reading,’’ kata Budi kepada Jawa Pos Jumat pekan lalu (25/9).

Nama lengkapnya kini tertulis Prof Dr Budiyanto MPd. Pria yang tahun ini bakal berusia 64 tahun itu menceritak­an, hingga kelas IV SR, dirinya memang tak bisa membaca.

Dia hanya bisa menggambar bentuk huruf per huruf, tapi tak bisa mengejanya ketika sudah menjadi sebuah kata. Jika menulis, dia hanya bisa mengingat-ingat bentuk gambar tiap kata, lalu menuangkan­nya ke dalam tulisan.

Kesulitan menyerap informasi itu terjadi selama dia duduk di bangku SR. Setelahnya, dengan segenap upaya, dia akhirnya mulai bisa membaca hingga saat ini nama lengkapnya telah bersanding dengan gelar-gelar akademisi yang cukup mentereng.

’’Jadi, dulu itu keluarga saya menilai saya bodoh karena tidak bisa membaca. Tapi, mereka juga tidak tahu saya ini kenapa. Baru saat saya kuliah, saya tahu, oh ini toh yang saya alami dulu (specific learning difficulti­es, Red),’’ paparnya.

Latar belakang Budi yang merupakan mantan anak berkebutuh­an khusus (ABK), rupanya, sejalan dengan perjalanan pendidikan dan karirnya. Dia terus belajar hingga kini menjadi guru besar ketiga di Indonesia yang khusus menekuni bidang pendidikan inklusif. Empatinya terhadap ABK yang mengalami hambatan komunikasi dan intelektua­l sangatlah besar.

Budi merupakan pelopor pengembang­an signalong Indonesia. Signalong adalah sistem bahasa isyarat yang dapat digunakan ABK dari berbagai hambatan.

Signalong berbeda dengan sistem bahasa isyarat Indonesia (SIBI) dan bahasa isyarat Indonesia (bisindo) yang lebih banyak digunakan orang tuli. Signalong lebih banyak menggunaka­n satu isyarat untuk satu kata, tidak menggunaka­n satu isyarat untuk satu huruf. Sehingga lebih mudah dipahami ABK dari berbagai latar belakang, bahkan orang yang tidak menyandang disabilita­s.

’’Jadi, anak-anak yang cerebral palsy, autism, dan orang-orang pada umumnya lebih gampang menggunaka­n sinalong ini,’’ jelas Budi.

Pria yang kini mengajar di Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) itu memaparkan, signalong sebenarnya sudah lama digunakan sebagai salah satu sistem bahasa isyarat untuk ABK di Inggris. Hanya, dia mengembang­kannya menjadi signalong Indonesia sehingga isyarat yang ada disesuaika­n dengan budaya lokal di Indonesia.

Misalnya, untuk menyebut kata ’’bapak’,’ seseorang cukup memegang area segi tiga di bawah hidung dengan telunjukny­a. Itu menandakan seolah-olah orang tersebut memegang kumis.

Sistem isyarat itu disusun Budi bersama Kieron Sheehy, seorang profesor dan peneliti dari Open University, Inggris. Penelitian tersebut dilakukan sejak 2012 dan telah menghasilk­an sebuah kamus pada 2013. Kamus itu terus mengalami perkembang­an dan saat ini telah memiliki sekitar 600 kosa isyarat.

Dalam pengembang­an dan adaptasiny­a di Indonesia, Budi juga dibantu tim penyusun yang terdiri atas 28 guru sekolah luar biasa (SLB). Tentu tak mudah menyusun isyarat-isyarat itu.

Budi dan Sheehy, bersama para guru SLB itu, telah melalui rangkaian diskusi dan penelitian yang panjang agar bisa menghasilk­an isyarat yang mudah dipahami semua kalangan.

Signalong Indonesia mulai diperkenal­kan secara lebih luas tahun ini. Budi, dengan dibantu tim dari Unesa, telah memiliki website dan YouTube channel tentang signalong Indonesia. Dengan begitu, pengenalan signalong Indonesia tidak terbatas lewat kamus.

Salah satu sekolah yang sudah menggunaka­n signalong Indonesia adalah Sekolah Galuh Handayani di Surabaya. Sekolah inklusif itu memanfaatk­an signalong sebagai media percakapan dengan para siswa sejak 2013.

Dari 200 murid di sekolah itu, 70 persen di antaranya adalah ABK. ’’Anak TK pun sudah kami ajari signalong,’’ ucap Ketua Yayasan Sekolah Galuh Handayani Prastiyono.

Menurut Pras, sapaan akrabnya, signalong terbukti sangat membantu siswa ketika harus sekolah daring dari rumah. Orang tua yang tadinya tidak bisa bahasa isyarat jadi lebih mudah berkomunik­asi dengan anaknya. Sebab, dalam setiap sesi pelajaran daring, para guru menggunaka­n signalong yang bisa dipelajari tidak hanya oleh orang tuli.

Namun, Pras mengakui, 600an kosa isyarat dalam signalong Indonesia masihlah kurang. ’’Banyak kosakata yang tidak ada dalam kamus sehingga kami kemudian mengusulka­n kepada tim signalong Indonesia untuk membuat kosa isyarat baru,’’ ujar Pras.

Budi pun mengakui hal tersebut. Inginnya, pengembang­an signalong Indonesia tak berhenti sampai di sini saja. Dia akan terus mengembang­kan kamus signalong Indonesia agar lebih banyak mengakomod­asi kata-kata ke dalam sistem isyarat.

Kini luka masa silam yang menoreh bekas di ronggarong­ga memori dan perasaan Budi sudah termaafkan. Bahkan menjadi cambuk yang telah membawa Budi menjadi versi dirinya yang jauh lebih baik.

Sementara itu, simbok yang pernah menyangka Budi bodoh menjadi sosok yang sangat dekat di hati Budi, bahkan setelah menjadi almarhumah. ’’Simbok itu punya kedekatan yang irasional dengan saya. Dia sering punya firasat saya mengalami kejadian buruk tanpa saya beri tahu sama sekali,’’ ungkap Budi.

Suaranya mulai parau. ’’Simbok itu sangat menyayangi anak-anaknya dan selalu berusaha melihat kami menjadi orang pintar, meski dia sendiri tidak pernah sekolah,’’ tutur kakek dua cucu itu, lantas meminta maaf kepada Jawa Pos karena tak dapat menahan tangis.

 ?? SCREENSHOT CHANNEL YOUTUBE SIGNALONG ??
SCREENSHOT CHANNEL YOUTUBE SIGNALONG
 ?? UNESA FOR JAWA POS ?? MEMUDAHKAN: Budiyanto. Foto kanan, sekelompok pelajar mempraktik­kan signalong.
UNESA FOR JAWA POS MEMUDAHKAN: Budiyanto. Foto kanan, sekelompok pelajar mempraktik­kan signalong.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia