Lemahnya Daya Beli Picu Hat-trick Deflasi
Inflasi Inti Terendah sejak 2004
JAKARTA, Jawa Pos – Perlambatan ekonomi benar-benar memengaruhi dinamika indeks harga konsumen (IHK) atau inflasi. Itu tercermin pada deflasi yang tercatat selama tiga bulan berturut-turut. Yakni, dari Juli sampai September lalu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa deflasi Juli mencapai 0,10 persen. Sementara itu, pada dua bulan berikutnya, berturutturut tercatat 0,05 persen dan 0,05 persen. Kepala BPS Suhariyanto menyebutkan, hattrick deflasi itu menandakan daya beli masyarakat yang sangat lemah.
”Karena terjadi deflasi berturut-turut, artinya triwulan III daya beli masih sangat rendah,” ujarnya kemarin (1/10).
Suhariyanto menambahkan bahwa Indonesia pernah mengalami deflasi selama tujuh bulan berturut-turut pada 1999. Krisis moneter yang terjadi kala itu benar-benar memukul perekonomian tanah air.
Dilihat dari komponennya, inflasi inti yang mencerminkan daya beli masyarakat juga mengalami perlambatan. Yakni, sekitar 0,13 persen secara month-to-month pada September 2020. Inflasi inti secara tahun kalender (year-to-date) sebesar 1,46 persen dan secara tahunan (year-on-year) tercatat 1,86 persen.
Inflasi inti tersebut merupakan yang paling rendah sepanjang penghitungan bersama BPS dan Bank Indonesia (BI) yang dimulai pada 2004. Artinya, inflasi inti pada September lalu terendah sejak 16 tahun silam. ”Jadi, yang perlu diwaspadai adalah inflasi inti yang terus turun sejak Maret. Sekarang inflasi intinya 1,86 persen. Itu rendah, menunjukkan daya beli kita masih sangat-sangat lemah,” urai Suhariyanto.
Deflasi September 2020 disebabkan penurunan harga empat kelompok pengeluaran. Yakni, kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mengalami deflasi 0,37 persen. Juga, kelompok pakaian dan alas kaki yang turun sebesar 0,01 persen. Disusul kelompok transportasi yang turun 0,33 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan yang turun sebesar 0,01 persen.
Terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menegaskan bahwa deflasi tiga bulan berturutturut itu memang menandakan daya beli masyarakat yang tertekan. Selama kondisi ekonomi belum pulih, pergerakan inflasi akan tetap dalam tren yang rendah. ”Sepanjang pertumbuhan ekonomi masih negatif, biasanya inflasi akan rendah. Dalam konteks ini, 3 bulan berturut-turut deflasinya kecil,” ungkapnya.
Febrio menambahkan, hattrick deflasi itu menjadi pengingat bagi pemerintah bahwa demand and supply belum normal. Pemerintah akan menyiapkan berbagai upaya untuk menjaga permintaan dan daya beli masyarakat. Dia menyebutkan, kebijakan perlindungan sosial akan dilanjutkan sampai akhir 2020, bahkan 2021.
Terpisah Kepala BPS Provinsi Jawa Timur (Jatim) Dadang Hardiwan menyatakan bahwa inflasi kali ini mencapai 0,15 persen pada September. Dari delapan kota di Jatim, tujuh di antaranya mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Probolinggo sebesar 0,35 persen. Sementara itu, inflasi terjadi di Kediri sebesar 0,15 persen. ”Terjadinya deflasi ini karena penurunan harga sebagian indeks kelompok pengeluaran,” ucapnya kemarin.
Kelompok makanan, minuman, dan tembakau turun sebesar 0,44 persen. Sementara itu, kelompok kesehatan turun sekitar 0,04 persen. Disusul kemudian dengan kelompok transportasi sebesar 0,61 persen dan kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,02 persen.
”Komoditas yang harganya turun, antara lain, angkutan udara, telur ayam ras, daging ayam ras, tarif kereta api, emas perhiasan, melon, cabai rawit, semangka, jeruk, dan tomat,” urai Dadang.