Jawa Pos

Rogoh Tabungan, Investasi Saham, hingga Terpaksa Turunkan Tarif

Pandemi membuat mobilitas mahasiswa dan karyawan menurun drastis. Itu juga berpengaru­h pada geliat bisnis kos-kosan yang kini semakin sepi. Aktivitas belajar dan bekerja dari rumah membuat tak banyak orang merasa butuh menyewa kamar kos. Pemilik kos berta

- SHABRINA PARAMACITR­A,

RUANG tengah di lantai 2 kos putri itu tampak lengang. Televisi yang biasanya dipakai penghuni kos untuk nonton bareng di ruangan tersebut seolah duduk sendirian tanpa teman.

Di ruangan itu, tak terdengar lagi suara tawa, rasan-rasan dosen killer di kampus, atau cerita-cerita baru tentang pacar ganteng yang bersahut-sahutan dengan suara tayangan FTV di sore hari. Pintupintu kamar yang berderet di sisi kanan dan kiri televisi itu ditutup

Ya, sudah beberapa bulan kos di kawasan Wonocolo itu sepi. Di antara 14 kamar, hanya empat yang terisi. Semua penghuniny­a berlatar belakang karyawan. ”Di sini memang kebanyakan penghuniny­a mahasiswa UIN Surabaya, tapi pada pulang semua. Sisanya yang pekerja masih tinggal di sini,” kata Siti Aisyah, sang pemilik kos.

Kegiatan kuliah secara daring membuat mahasiswa yang kos di tempat Siti angkat kaki. Mereka bahkan mengangkut barangbara­ngnya ke rumah masingmasi­ng. Hanya ada dua penghuni kos mahasiswa yang masih menaruh barang-barangnya di kamar kos. Namun, mereka tetap tinggal di kampung halamannya. ’’Nah, kalau yang seperti itu, ibu suruh bayar separo saja dari tarif per bulan. Jadi, cuma bayar Rp 200 ribu,” tutur Siti.

Beruntung, kos rumah tangga milik Siti yang terletak di belakang kos putri itu masih menampung penghuni. Sebab, latar belakang penghuni kos tersebut adalah karyawan. Mereka tidak pulang kampung seperti penghuni yang masih mahasiswa. Namun, Siti mengakui saat ini adalah masa paling sunyi di kos-kosannya setelah dirinya menjalani bisnis kos selama 10 tahun terakhir.

Siti mengaku kesulitan untuk membayar biaya listrik dan air. Terkadang, dia harus merogoh tabunganny­a yang kian lama kian tipis. Hal itu diperparah dengan tidak adanya sumber pemasukan lain selain dari kos. Dia juga tak mendapatka­n bantuan apa pun dari pemerintah. ”Malah Pak RW bilang, saya seharusnya bersyukur karena masih punya kos-kosan dibanding tetangga yang lain. Ya sudah kalau dia bilang begitu, saya bisa apa,” keluhnya.

Beruntung, dua anak yang masih tinggal dengannya tidak menguras pengeluara­n bulanan karena sekolah daring. Anakanak itu, kata Siti, tidak minta uang jajan dan uang transpor seperti hari-hari biasanya. Biaya SPP mereka juga bisa dicicil. Setidaknya, bagi Siti, pengeluara­n yang berkurang itu adalah pertolonga­n dari Yang Di Atas.

Jika Siti memilih merogoh tabungan, beda lagi Isna Zulfia. Pemilik kos di kawasan Jetis Kulon itu memilih untuk lebih aktif berinvesta­si pada instrumen saham. ”Lumayan hasilnya buat menolong pendapatan, hehehe,” ujarnya. Dia juga berjualan merchandis­e secara online. Hasilnya cukup untuk membantu keuangan keluarga.

Pada masa pandemi ini, sulit jika harus bertumpu hanya dari penghasila­n sewa kamar kos. Sebab, mahasiswa Universita­s Negeri Surabaya (Unesa) yang biasanya menyewa kamar di tempatnya juga pulang kampung. Alhasil, dari 12 kamar yang dia sewakan, hanya 6 yang terisi.

Mereka adalah karyawan RS Islam Surabaya Ahmad Yani dan Royal Plaza. Kamar kos yang mereka sewa rata-rata Rp 600 ribu per bulan.

Biasanya, laba bersih dari penyewaan kos milik Isna berkisar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Namun dalam kondisi seperti ini, keuntungan yang dia terima turun menjadi Rp 1 juta hingga Rp 2 juta saja. Beruntung, okupansi dari enam kamar itu sudah bisa menutup biaya listrik, air, dan wifi kos.

Dia berharap Pemkot Surabaya memberikan keringanan bagi pengusaha pemondokan seperti dirinya. ”Kalau bisa, ada penangguha­n pembayaran PDAM minimal enam bulan. Itu sudah sangat membantu. Atau, turunkan tarifnya sekalian. Itu juga bisa menolong kami,” ungkapnya.

Isna dan Siti memang tak sendiri. Kos-kosan di sekitarnya, menurut mereka, juga sedang sepi. Begitu pula yang dialami Sri Yuliastuti­k. Pemilik kos di kawasan Ketintang itu mengaku kosnya kosong. ”Banyak juga pemilik kos lain di sekitar sini yang mengeluh lagi sepi,” ucapnya.

Saat ini, lima kamar kos karyawan yang disewakan Sri tak berpenghun­i sama sekali. Sejak pandemi terjadi pada Maret, tiga kamar telah kosong lantaran penghuniny­a bekerja dari rumah dan mutasi kerja ke luar kota. Kemudian, pada akhir Agustus hingga pekan ke-2 September, Sri hanya menerima sewa kos selama dua pekan dari pemudapemu­da yang sedang tes penerimaan calon bintara.

Sri mengaku memang cukup selektif dalam menerima penghuni kos. ”Kalau sekiranya ibu ndak cocok, biasanya ibu menolak. Soalnya, ibu menyewakan kamar kos itu lebih untuk cari teman,” kata Sri yang kini tinggal bersama seorang asisten rumah tangga (ART).

Demi meningkatk­an pendapatan, dia kini menurunkan harga sewa. Dari yang tarifnya Rp 1,6 juta per bulan kini turun menjadi Rp 1,2 juta. Ada juga kamar yang turun tarifnya, dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 2 juta. ”Terpaksa saya turunkan daripada kosong. Rumah sebesar ini cuma saya dan nenek (ARTnya, Red). Rasanya sepi sekali. Anak-anak saya sudah berumah tangga semua,” jelasnya.

Teras rumah Sri kini juga sepi. Dulu teras itu disewakan untuk usaha bakso. Sang penyewa angkat kaki sejak September lalu dan tidak memperpanj­ang kontrak sewanya. Si penyewa juga berhenti berjualan tiga bulan sebelum kontraknya habis lantaran warung baksonya sepi. Biasanya, banyak penghuni kos, mahasiswa, dan karyawan yang makan siang dan makan malam di warung itu.

Kamar kos kosong, warung bakso pun tutup. Sri kini hanya bisa bergantung pada penghasila­n dari tiga warung miliknya di

Malang. Warung-warung itu dia jalankan bersama temannya dengan sistem bagi hasil. ”Dari warung itu pun pendapatan saya juga menurun. Sebab, banyak karyawan yang biasanya makan siang, terus WFH (work from home). Jadi ndak marung (makan di warung, Red),” ungkap Sri.

Dia hanya bisa pasrah. Dia tidak berharap bantuan atau keringanan apa pun dari pemerintah. Dia hanya berharap pandemi segera berakhir dan rumahnya kembali ramai dengan hadirnya para penghuni kos.

Dia juga berharap teras rumahnya bisa kembali mendatangk­an penyewa baru yang hendak membuka usaha. ”Soalnya, penghuni kos itu saya anggap seperti anak saya sendiri. Saya hobi masak. Kalau enggak ada anak kos, yang makan masakan saya siapa?” ujar perempuan yang sering membuatkan sarapan gratis untuk para penghuni kos itu.

 ?? RIANA SETIAWAN/JAWA POS ?? DAMPAK PANDEMI: Suasana rumah kos di kawasan Ketintang. Karena pandemi Covid-19, banyak kamar kos yang ditinggalk­an penghuniny­a.
RIANA SETIAWAN/JAWA POS DAMPAK PANDEMI: Suasana rumah kos di kawasan Ketintang. Karena pandemi Covid-19, banyak kamar kos yang ditinggalk­an penghuniny­a.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia