Tak Hanya Ramah Lingkungan, tapi Juga Bisa Dimakan
Dua kali gagal lolos dalam program kreativitas mahasiswa (PKM) tidak membuat tiga mahasiswa Unusa menyerah. Pada keikutsertaan kali ketiga, usaha dan kerja keras mereka diakui berkat inovasi sedotan berbahan lidah buaya.
BENTUKNYA mirip stik transparan. Dengan panjang 20 sentimeter dan ketebalan 1–2 sentimeter. Itu adalah sedotan berbahan baku lidah buaya. Karya tersebut mengantarkan tiga mahasiswa Prodi Kesehatan Masyarakat
Unusa lolos seleksi PKM. Kini mereka mempersiapkan diri menuju pekan ilmiah mahasiswa nasional (pimnas). Ketiga mahasiswa adalah Vidi Annisya Pratikasari, Halimatul Sa’diyah Dzaroh, dan Meilya Dwi Safira.
”Awalnya kepikiran bikin sedotan bambu. Tapi, sudah banyak di pasaran. Sempat juga terpikir sedotan dari tepung beras, tapi kurang efektif karena mudah mencair saat kena minuman dingin,” ujar Vidi yang menjadi ketua tim PKM saat dihubungi Jawa Pos kemarin (1/10). Oleh dosen pendamping, mereka pun diarahkan untuk memikirkan bahan baku yang bisa dikonsumsi. Sekaligus punya manfaat dari segi kesehatan.
Tercetuslah ide untuk membuat sedotan dari bahan lidah buaya. Vidi menuturkan, lidah buaya sudah sering diolah menjadi minuman dan nata de coco. Rasanya cenderung plain alias netral di lidah. Tidak memunculkan sensasi yang aneh-aneh. Selain itu, tanaman dengan pinggiran berduri itu bisa menyembuhkan sembelit, mengurangi asam lambung, menurunkan tekanan darah, maupun meredakan batuk.
”Dipadatkan dengan campuran jelly supaya lebih mudah dibentuk,” jelas mahasiswi asal Nganjuk itu. Pembuatannya memang terbilang cukup mudah. Lidah buaya dikupas dan diambil dagingnya. Setelah itu direbus hingga mendidih. Hasil rebusan air lidah buaya itulah yang lantas dimasak dengan jelly putih dan sedikit gula. Namun, proses yang sederhana itu tidak berarti tanpa kendala. ”Sempat susah cari cetakan sedotannya. Di mana-mana nggak ada. Terus kami berinisiatif pakai pipa stainless,” ungkapnya.
Kendala lainnya adalah sedotan yang sudah dikeluarkan dari cetakan dan disimpan di kulkas juga rentan lembek. Mereka berpikir untuk melakukan pemanasan terlebih dulu ke dalam oven. Lantas dibungkus dengan aluminium foil agar sedotan bisa mengeras lebih lama.
Beragam rencana untuk menyempurnakan sedotan lidah buaya itu memang sudah dipikirkan dari sekarang. Ketika sudah bisa diproduksi secara masal, segalanya sudah siap. ”Selama pandemi ini, kami belum diizinkan untuk melakukan produksi dan pemasaran atau pengenalan produk pada pasar yang lebih luas,” kata Vidi. ”Kami berencana mulai mengenalkan sedotan ini ke lingkungan internal kampus hingga apotek dan swalayan saat pandemi berakhir,” lanjutnya.
Sedotan ramah lingkungan itu bisa bertahan pada minuman panas sekitar 30 menit hingga satu jam. Sementara itu, saat dipakai untuk minuman dingin, ketahanannya bisa sampai dua jam. Lebih dari itu akan leleh. ”Selain ramah lingkungan, sedotannya bisa dimakan. Jadi, tidak bikin sampah. Sebab, sampah plastik terbanyak di Indonesia berasal dari limbah sedotan plastik dan sudah mencemari laut. Harus ditanggulangi dan dikurangi bersama,” katanya.