Mantan Dirut RSMU Dituntut Hukuman Percobaan
Jaksa: Terdakwa Terbukti Cemarkan Nama Baik
SURABAYA, Jawa Pos - Mantan Direktur Rumah Sakit Mata Undaan (RSMU) Sudjarno dituntut pidana empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan. Jika selama masa percobaan terdakwa mengulangi perbuatannya, dia akan dipenjara.
Jaksa penuntut umum (JPU) I Gede Willy Pramana menyatakan bahwa terdakwa terbukti melanggar pasal 311 ayat 1 KUHP. Sudjarno dinyatakan bersalah oleh jaksa karena dianggap terbukti mencemarkan nama baik dokter Lidya Nuradianti melalui surat teguran yang dibuatnya.
Terdakwa dalam kapasitasnya sebagai direktur dianggap tidak memiliki kewenangan menilai dokter melanggar kode etik profesi. Sebab, kewenangan itu hanya dimiliki Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
”Menuntut supaya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 311 ayat 1 KUHP,” ujar jaksa Willy saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kemarin (1/10).
Sudjarno, menurut jaksa Willy, awalnya memberikan surat teguran kepada dokter Lidya selaku anak buahnya di rumah sakit tersebut. Lidya dianggapnya telah melanggar prosedur kerja dan etika profesi. Masalahnya, mata kiri seorang pasien dokter Lidya dioperasi oleh perawatnya, Anggi Surya Arsana. Anggi sebagai perawat tidak berwenang mengoperasi dan yang seharusnya mengoperasi mata pasien adalah dokter Lidya.
Pasien itu protes ke rumah sakit hingga meminta ganti rugi karena perbuatan yang dianggap sebagai malpraktik tersebut. Sudjarno dan pihak pengelola rumah sakit sudah membayar ganti rugi Rp 450 juta kepada pasien tersebut. Terdakwa kemudian mengirim surat teguran kepada Lidya dan Anggi.
Lidya keberatan. Pertama, operasi itu dilakukan Anggi tanpa sepengetahuannya. Kedua, Sudjarno sebagai direktur tidak berwenang menegurnya karena tuduhan melanggar kode etik. Kasus itu berlanjut.
Sudjarno dan manajemen rapat dengan pihak yayasan. Saat itu Sudjarno menunjukkan surat teguran itu kepada pengurus yayasan. Semestinya surat itu hanya ditujukan kepada Lidya. ”Perbuatan terdakwa merupakan suatu penghinaan yang menyerang kehormatan karena tidak mempunyai kewenangan menilai dokter melanggar etik atau tidak,” kata jaksa.
Setelah itu, dokter Lidya menjadi bahan pergunjingan di rumah sakit. Dia sempat mendengar seorang dokter menggunjingnya di kantin dengan menyatakan Lidya sudah ditegur karena melanggar kode etik. Kasus itu kemudian menjadi rahasia umum.
Pengacara terdakwa, Sumarso, merasa keberatan dengan tuntutan tersebut. Kini dia masih menunggu putusan kasus dugaan pelanggaran etik Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI. Salinan putusan itu baru diterima sebulan setelah putusan tersebut dibacakan. ”Bagaimana putusan itu, apakah dokter Lidya melanggar etik atau tidak? Kalau dokter Lidya melanggar etik, bagaimana nanti selanjutnya? Ini yang masih kami tunggu untuk disampaikan dalam pembelaan,” ujar Sumarso.