Melawan Demokrasi Kaum Penjahat
DI TENGAH pandemi Covid-19 yang menunjukkan peningkatan kasus penularan, DPR malah mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) yang kontroversial itu. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-7 masa persidangan I 2020-2021. Bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat, yakni dari 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.
RUU itu diketahui akan membawa dampak buruk bagi buruh. Namun, Ketua DPR Puan Maharani berkelit bahwa RUU Ciptaker dapat membangun ekosistem berusaha di Indonesia yang lebih baik dan mempercepat kemajuan Indonesia. Padahal, kemajuan yang dimaksud itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha saja. Karena itulah, buruh menolak keras pengesahan RUU tersebut.
Penolakan buruh sesungguhnya telah mendapatkan alasan rasional ketika Amnesty International (Agustus 2020) meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang serta merevisi sejumlah pasal bermasalah. Amnesty menilai RUU Ciptaker, baik proses legislatif maupun substansinya, berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan kewajiban internasional Indonesia untuk melindungi HAM. Terutama menyangkut hak untuk bekerja dan hak di tempat kerja.
Sebelumnya, Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery (29 Juli 2020) juga menyoroti tiga poin RUU Ciptaker yang bermasalah. Yakni, klausul mengenai ketenagakerjaan, perizinan, dan lingkungan. Sayang, penolakan buruh, peringatan Bank Dunia, dan Amnesty tidak diindahkan DPR.
Watak Antidemokratik Jika dihubungkan dengan politik, RUU Ciptaker yang disahkan DPR memiliki apa yang disebut John Dewey (filsuf asal Amerika) sebagai watak antidemokratik. John Dewey, yang merupakan seorang penerus tradisi liberal klasik pencerahan, memahami betul bahwa politik merupakan bayang-bayang yang diciptakan oleh perusahaan besar. Demokrasi mensyaratkan bahwa sumber bayang-bayang itu harus disingkirkan. Bukan saja karena dominasinya atas arena politik, namun juga karena institusiinstitusi kekuasaan swasta meruntuhkan demokrasi itu sendiri (Noam Chomsky, 1994).
Dewey, sebagaimana dikutip Chomsky dalam esainya, Democracy and Education, pernah menyinggung watak antidemokratik dari kekuasaan swasta. Mengutip kata-katanya, Chomsky menegaskan, kekuasaan terletak dalam kontrol atas alat-alat produksi, perdagangan, media massa, transportasi, komunikasi, dan perangkat-perangkat demokratik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Siapa pun yang memiliki semua itu akan menguasai kehidupan negeri, bahkan meski bentuk-bentuk demokrasi dari negara tersebut masih tetap ada.
Padahal, dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, para buruh haruslah menjadi tuan bagi produksinya sendiri. Bukan sebagai alat yang disewa oleh para majikan. Karena itu, Dewey menyarankan, industri harus berubah dari suatu tatanan sosial yang feodalistik menjadi suatu tatanan sosial yang demokratik yang didasarkan pada kontrol oleh kelas pekerja dan serikat yang merdeka (free association).
Apa yang dikatakan Dewey tersebut menjadi sangat relevan untuk dijadikan perangkat teoretik dalam melakukan penilaian terhadap UU Ciptaker yang memiliki watak antidemokratik itu. UU ini dengan terang benderang menunjukkan ketidakberpihakannya kepada buruh. Ini bisa kita lihat dari sejumlah pasal bermasalah dan kontroversial tentang ketenagakerjaan UU Ciptaker.
Dalam soal kontrak tanpa batas (pasal 59), misalnya, UU Ciptaker menghapus aturan mengenai jangka waktu pekerja kontrak. Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan juga dihapus lewat UU ini (pasal 91). Hak pekerja untuk mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan juga dipangkas (pasal 79). Kemudian, UU ini pun menghapus hak pekerja untuk mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan (pasal 169).
Apabila pasal-pasal itu dikaitkan dengan penelusuran yang dilakukan oleh lembaga pemerhati isu sumber daya alam Yayasan Auriga Nusantara dan Tempo, akan diketahui watak antidemokratik DPR. Dalam hasil penelusuran tersebut, ditemukan bahwa 262 orang atau 45,5 persen dari 575 anggota DPR itu terafiliasi dengan perusahaan swasta. Nama mereka tercatat pada 1.016 perseroan yang bergerak di berbagai sektor, seperti penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif. Dan 262 legislator itu paling banyak berasal dari tiga partai besar, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Jadi logis jika para anggota DPR itu memiliki alasan dan kepentingan yang sangat besar ketika mengesahkan RUU kontroversial tersebut.
Protes Masyarakat Wajar bila buruh merasa kecewa dan marah dengan watak antidemokratik DPR. Mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lainnya juga merespons sinis watak DPR yang demikian. Noam
Chomsky dalam esainya punya sebuah cerita mengenai pernyataan seseorang yang pernah merasa kecewa dengan kongres Amerika Serikat. Perkataan seseorang itu, hemat saya, sangat sesuai jika ditujukan untuk DPR RI, ’’Yeah, Congress is rotten, but that’s because Congress is big business, so of course it’s rotten”.
DPR saat ini memang tengah membusuk, karena DPR sendiri merupakan suatu bisnis yang besar. Jika pembusukan DPR ini dibiarkan, saya khawatir ramalan Olle Tornquist (1999) –seorang pemerhati perkembangan politik di Indonesia– tentang datangnya hantu ’’demokrasi kaum penjahat’’ menjadi ada benarnya. Dalam bentuk seperti itu, demokrasi hanya akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi pembentukan kebijakan yang demokratik dan sesuai kehendak umum. Dan hantu itu kini bersemayam di gedung parlemen yang mirip kura-kura itu.
Karena itu, protes buruh, mahasiswa, dan sejumlah elemen masyarakat lainnya melalui demonstrasi merupakan pilihan paling strategis dalam melawan demokrasi kaum penjahat. Seluruh elemen masyarakat ini mesti menolak opsi alternatif untuk menempuh jalur judicial review (JR) dan mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengeluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undangundang).
*) Peneliti dan pendiri The Asrudian Center