Dunia Kreatif Memotret Para Anggota Legislatif
Pengesahan UU Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10) lalu menjadi sumber kegaduhan dan keresahan di kalangan masyarakat. Demonstrasi pun berlangsung di banyak wilayah Indonesia sampai kemarin (8/10).
Pelaku dunia kreatif yang juga bagian dari masyarakat Indonesia pun tak luput menyuarakan kegemasannya atas tindak-tanduk para anggota legislatif tersebut. Melalui karya mereka bertahun-tahun yang lalu itu, rasanya kegemasan tersebut bertahan sampai saat ini.
Di kancah musik, pada era 1980-an musisi Iwan Fals melahirkan Surat buat Wakil Rakyat dalam album Wakil Rakyat (1987). Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Potongan lirik yang terus kita dengar hingga kini saat menyindir kebijakan para anggota dewan.
Lalu, dekade pertama 2000-an, Efek Rumah Kaca menyumbangkan Mosi Tidak Percaya dalam Kamar Gelap (2008). Dekade kedua 2000-an, jangan lewatkan Feast dalam Kami
Belum Tentu di album Beberapa Orang
Memaafkan (2018).
Di dunia tulis-menulis, penulis Eka Kurniawan melahirkan Corat-Coret di Toilet (CCDT) dalam kumpulan cerita pendeknya Corat
Coret di Toilet dan Cerita-Cerita Lainnya (2000). Nah, dalam CCDT Eka menggambarkan bagaimana toilet menjadi kanalisasi unekunek sekelompok masyarakat. Dimulai menuliskan gagasan-gagasan perubahan untuk negara, menyumpahi orde tertentu, hingga ada janji mengajak kencan. Mengenai CCDT, penulis yang masuk
longlist Man Booker Prize 2016 itu pernah berkata inspirasi CCDT tersebut lahir di sebuah kakus perpustakaan universitas. Dinding-dinding toilet itu penuh coretan. Tak semuanya bernada politis. Namun, ada yang juga yang mesum.
”Yang membuatku tergelitik, mengapa mereka mencoret-coret toilet? Apakah tidak ada tempat lain yang bisa mewadahi ekspresi mereka?” kata Eka dalam diskusi itu. ”Setelah pulang dari perpustakaan, aku tuliskan apa yang kutemui itu,” tambah penulis yang sudah punya empat novel itu.
Akhir cerpen CCDT yang ditulis Eka pada 1999 atau 21 tahun yang lalu hingga kini masih terdengar relevan. Dengan satire, Eka menulis bagaimana alih-alih mengadukan keluh kesahnya kepada bapak anggota dewan yang notabene dikenal sebagai wakil rakyat, maka sekelompok masyarakat lebih percaya kepada dinding toilet sebagai saluran aspirasi.