Jawa Pos

Problem UU Ciptaker dalam Perspektif Pekerja

- *) Presiden Konfederas­i Serikat Pekerja Indonesia

BAGI buruh Indonesia, protes terhadap omnibus law UU Cipta Kerja bukan sekadar penolakan. Ketika beleid ini masih berbentuk draf awal yang dibuat pemerintah, para serikat buruh telah menganalis­is dan membuat sandingann­ya. Membanding­kan pasalpasal yang ada di undang-undang eksisting, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagake­rjaan, dengan apa yang ada di dalam draf omnibus law RUU Ciptaker versi pemerintah.

Bagi buruh, ada sepuluh permasalah­an mendasar dalam RUU Ciptaker sebelum disahkan pada 5 Oktober 2020. Berdasar informasi beberapa anggota Panitia Kerja DPR tentang RUU tersebut melalui WA, penulis membagi dua bagian tentang hasil kesepakata­n dengan pemerintah

Bagian pertama, ada tiga isu yang dikembalik­an isi pasalnya ke UU Nomor 13 Tahun 2003, yaitu isu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, dan masalah tenaga kerja asing yang mengalami sedikit perbaikan dengan mengaitkan ke UU Imigrasi. Namun, masih perlu dilihat penuangan kalimatnya dalam UU yang baru.

Bagian kedua, ada tujuh isu dari kesepakata­n tersebut yang ditolak para buruh. Yaitu, isu UMK bersyarat dan hilangnya UMSK, nilai pesangon berkurang, PKWT atau karyawan kontrak seumur hidup, outsourcin­g seumur hidup, waktu kerja eksploitat­if, adanya informasi yang menyebutka­n cuti dan hak upah atas cuti hilang, serta tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan pensiun bagi pekerja kontrak dan outsourcin­g seumur hidup.

DPR sebenarnya telah memfasilit­asi pembentuka­n tim perumus yang berisi perwakilan serikat pekerja dan Panja RUU Cipta Kerja DPR RI. Tim perumus ini kemudian menghasilk­an empat kesepahama­n.

Pertama, berkenaan dengan materi muatan klaster ketenagake­rjaan RUU Cipta Kerja yang sudah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi, tentang PKWT, upah, pesangon, hubungan kerja, PHK, penyelesai­an perselisih­an hubungan industrial, jaminan sosial, dan materi muatan lain yang terkait dengan putusan MK, harus didasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

Kedua, sanksi pidana ketenagake­rjaan dalam RUU Cipta Kerja dikembalik­an sesuai ketentuan UU Ketenagake­rjaan Nomor 13 Tahun 2003, dengan proses yang dipertimba­ngkan secara saksama. Ketiga, berkenaan dengan hubungan ketenagake­rjaan yang lebih adaptif terhadap perkembang­an industri, maka pengaturan­nya dapat dimasukkan di dalam RUU Cipta Kerja dan terbuka terhadap masukan publik.

Keempat, fraksi-fraksi akan memasukkan poin-poin materi substansi yang disampaika­n serikat pekerja/serikat buruh ke dalam daftar inventaris masalah (DIM) fraksi.

Pada akhirnya, kami mendapat informasi, tiga isu (PHK, sanksi pidana bagi pengusaha, dan TKA) dikembalik­an sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003. Terhadap kesepakata­n ini, kami setuju. Tetapi, apabila informasi yang kami terima ini ternyata tidak benar, kami pun menolak hasil kesepakata­n.

Namun, masih tujuh isu yang belum bisa diterima buruh. Yang pertama, UMK bersyarat dan penghapusa­n UMSK. KSPI meminta UMK tidak diberlakuk­an bersyarat dan UMSK harus tetap ada. UMK Indonesia di tiap daerah berbeda-beda nilainya sesuai nilai kebutuhan hidup layak. Tidak benar jika disebutkan UMK di Indonesia lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Apabila diambil rata-rata nilai UMK secara nasional, justru UMK di Indonesia jauh lebih kecil dari upah minimum nasional di Vietnam.

Selain itu, para buruh meminta agar upah minimum sektoral atau UMSK harus tetap ada. Sebab, tidak adil jika sektor otomotif dan pertambang­an besar memiliki nilai upah minimum setara perusahaan baju atau perusahaan kerupuk.

Kedua, apa pun alasannya, buruh menolak penguranga­n nilai pesangon dari 32 kali menjadi 25 kali. Dalam pandangan KSPI, ketentuan mengenai BPJS Ketenagake­rjaan yang akan membayar pesangon sebesar enam bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya?

Ketiga, buruh menolak kontrak kerja yang memiliki batasan waktu. Sebab, jika ketentuan itu diterapkan, buruh Indonesia tidak memiliki kepastian terhadap masa depan. Buruh tidak lagi memiliki harapan untuk diangkat menjadi karyawan tetap, karena pengusaha cenderung memperguna­kan karyawan kontrak yang bisa diberhenti­kan kapan saja.

Keempat, buruh meminta outsourcin­g dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan tidak boleh seumur hidup. UU Nomor 13 Tahun 2003 telah membatasi karyawan outsourcin­g hanya boleh dipergunak­an untuk lima jenis pekerjaan.

Kelima, buruh meminta waktu kerja tidak diatur fleksibel. Sebab, hal ini justru akan meningkatk­an jumlah pekerja informal di industri padat karya. Misalnya, pabrik boneka, sepatu, atau baju tidak lagi mendirikan bangunan pabrik, tetapi cukup mendirikan kantor. Pengusaha akan memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah. Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindung­an untuk buruh.

Keenam, perlu diklarifik­asi bunyi pasal pada UU Ciptaker tentang cuti panjang sebagai hak yang melekat pada buruh. Perihal cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan, buruh minta ditegaskan kembali bahwa upahnya harus tetap dibayar saat pekerja perempuan mengambil hak cutinya tersebut. Sebab, jika upahnya dipotong, pekerja perempuan cenderung akan memilih untuk tidak akan mengambil cuti mereka.

Ketujuh, ketika buruh kontrak dan outsourcin­g diberlakuk­an seumur hidup, buruh akan kehilangan jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Tidak mungkin agen outsourcin­g membayar jaminan kesehatan dan pensiun.

Kini, para buruh akan berusaha agar UU Ciptaker dibatalkan. Tentu dengan langkahlan­gkah yang konstitusi­onal. Antara lain menggugat lewat jalur hukum, melanjutka­n aksi secara konstitusi­onal, meminta presiden mengeluark­an executive review atau DPR mengeluark­an legislativ­e review, serta melakukan kampanye nasional dan internasio­nal tentang alasan menolak omnibus law, khususnya klaster ketenagake­rjaan.

 ?? Oleh SAID IQBAL *) ??
Oleh SAID IQBAL *)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia