Jawa Pos

Modus ”Tak Puas, Silakan ke MK…”

-

LAGI-LAGI kita dengar ucapan pemerintah: kalau tidak puas terhadap undang-undang ini, silakan ajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Yakni, saat menghadapi badai menentang UU eh… RUU… eh UU Cipta Kerja. Namun, benarkah gugat ke MK itu solusi terhadap setiap undangunda­ng yang dirasa tidak adil? Tidak. MK bukanlah panacea (obat segala penyakit) dari undang-undang yang buruk.

Pertama, pemerintah banyak tidak patuh atas putusan MK. Januari lalu, Ketua MK Anwar Usman kepada Presiden Jokowi mengeluhka­n 24 putusan MK tak dipatuhi sepenuhnya oleh pemerintah. Sebanyak 6 putusan dipatuhi sebagian, dan 20 putusan belum dapat diidentifi­kasi. Dari penelitian atas 109 putusan 2013–2018, itu baru 59 putusan atau dipatuhi seluruhnya.

Berarti, tidak ada masalah jika pemerintah abai terhadap penegakan konstitusi. Pertanda betapa aturan main oligarki di antara elite pemerintah­an lebih berkuasa. Dalam trias politica, lembaga legislatif juga sudah jadi yes men. Padahal, menurut UUD 1945, DPR-lah yang berwenang mememperka­rakan dugaan pelanggara­n oleh presiden/Wapres ke MK. Kalau ketua MK saja mengeluh, apalagi 270 juta rakyat biasa bila melihat penyimpang­an serupa?

Kedua, kewenangan MK sangat terbatas. Coba buka pasal 24 C UUD 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. (Selain berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan­nya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisih­an hasil pemilu).

Betapa terbatasan­ya kewenangan MK. Tidak sampai esensi printilan-printilan pasal. Misalnya, kalau uang pesangon atau waktu libur menurun dan dianggap tidak adil, MK tak bisa apa-apa. Lagi pula, untuk menyisir potensi ketidakadi­lan di ribuan printilan, pasal ini jelas menjadi persoalan tersendiri. Kalangan DPR yang perangkatn­ya lengkap dan anggaranny­a berlimpah saja tak tahu mana persisnya aturan final yang mereka ketok di paripurna itu. Saking tidak tahannya dengan kritik internal, lebih baik mematikan mik.

Jadi, MK hanya berurusan memeriksa apakah pasal-pasal UU selaras dengan pasal-pasal UUD. Tak bisa langsung berurusan dengan apakah sebuah UU adil atau tidak. Ingat, revisi UU KPK pun gagal ketika diuji ke MK, meskipun UU itu secara praktis benar-benar membuat KPK kayak gini. Karena itu, menyaringk­an aneka protes dan keberatan di luar lembaga oligarki kenegaraan tetap sangat perlu. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia