UU Baru MK Diuji Materi ke MK
Pasal Syarat Usia dan Masa Jabatan Hakim
JAKARTA, Jawa Pos – UndangUndang No 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi. Perubahan UU yang baru disahkan DPR pada September lalu itu sempat mendapat penolakan publik karena sarat nuansa politis.
Tampil sebagai penggugat Allan Fatchan Gani, seorang pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Jogjakarta. Dalam berkas permohonannya, Allan menggugat UU MK, baik secara formil maupun materiil.
Untuk pengujian formil, Allan menyoroti proses revisi UU MK di DPR. Proses di parlemen dinilai tidak sesuai standar pembentukan undang-undang. Prosesnya berlangsung cepat dan tertutup. ”UU MK dibentuk tanpa partisipasi publik,” ujar Allan.
Dalam catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), revisi UU MK memang dibahas kilat, yakni pada 26 dan 27 Agustus 2020. Selanjutnya, pada 1 September, paripurna DPR mengesahkan revisi itu sebagai UU MK.
Untuk pengujian secara materiil, ada dua norma yang diuji. Yakni, pasal 1 ayat 3 terkait norma syarat minimal usia hakim ditambah pasal 1 ayat 6 dan ayat 15 yang mengatur norma masa jabatan hakim konstitusi (selengkapnya di grafis).
Dalam UU MK terbaru, syarat usia minimal hakim dinaikkan menjadi 55 tahun. Pemohon menilai kenaikan usia tersebut
tidak berdasar dan berpotensi melanggar pasal 28D UUD 1945. Norma itu justru menutup kans warga negara yang memiliki kompetensi, tapi terganjal usia.
Faktanya, ada banyak hakim MK berkompeten yang diangkat di usia relatif muda. Misalnya, Jimly Asshiddiqie di usia 47 tahun, Mahfud MD 51 tahun,
I Dewa Gede Palguna 42 tahun, Hamdan Zoelva 47 tahun, hingga Saldi Isra 49 tahun.
”Pasal 1 ayat 3 telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama,” imbuhnya.
Terkait norma masa jabatan, Allan menilai UU MK baru telah menghilangkan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap hakim. Pengaturan hakim bisa menjabat 15 tahun atau menjabat hingga usia 70 tahun bertentangan dengan pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Sementara itu, di UU MK Nomor 24 Tahun 2003, seorang hakim diseleksi setiap lima tahun dan bisa dipilih kembali melalui fit and proper test.
Terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, semua produk UU memiliki kans diuji, termasuk UU MK. Meski berkaitan langsung dengan nasib para hakim, dia memastikan, hakim akan menangani gugatan UU MK secara objektif. ”Hakim pasti akan punya pertimbangan hukum terkait itu, kita lihat ke depan,” tuturnya.