Kenapa Kaubakar Halte Busway?
PERTENTANGAN ide dalam demokrasi itu lumrah. Tidak heran kalau Voltaire, filsuf abad pertengahan Eropa, menyebut perbedaan pendapat sebagai hak paling dasar bagi kemanusiaan. Voltaire, nama samaran FrançoisMarie Arouet (1694–1778), merupakan penulis Prancis yang menginspirasi banyak tokoh dunia lainnya seperti Thomas Jefferson dan berbagai tokoh pendidik kita, termasuk Ki Hajar Dewantara.
Ungkapan yang terkenal darinya adalah ”Walaupun Anda memiliki pandangan yang bertentangan dengan pandangan saya, saya akan melindungi hak Anda untuk menyuarakan pendapat itu sampai, bila perlu, dengan mengorbankan nyawa saya”. Sikap seperti itu di eranya adalah sangat radikal dan menjadi dasar merebaknya konsep globalisasi karena hak asasi manusia kemudian menjadi bagian penting dari Piagam PBB.
Voltaire layak menjadi teladan buat kita semua, terutama di saat kita saat ini sedang menjalankan hak konstitusional mengeluarkan pendapat. Kalau tidak, kita akan melakukan kezaliman kepada orang lain dan masyarakat luas. Contoh paling buram adalah pembakaran dan perusakan fasilitas umum seperti halte bus Transjakarta (TJ) di kawasan strategis ibu kota RI ini.
Setidaknya ada 46 halte yang rusak pada demonstrasi menentang omnibus law UU Cipta Kerja pada 8 Oktober lalu. Lima halte yang benar-benar rusak (total
loss) atau terbakar seluruhnya dan tidak dapat digunakan sama sekali adalah Harmoni, Sawah Besar, Senen, Sarinah, dan Bundaran HI. Kerusakan tersebut, menurut tim prasarana PT Transportasi Jakarta (TJ), membutuhkan anggaran perbaikan yang mencapai sekitar Rp 46 miliar.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memerintahkan agar semua halte yang rusak dapat segera diperbaiki dan digunakan dalam waktu secepatnya. Syukurlah, TJ yang merupakan BUMD milik Pemprov DKI sigap dan siap sehingga semua halte rusak tadi dapat kembali beroperasi dalam 3 x 24 jam. Kerusakan halte bus TJ menjadi momentum pengingat buat kita semua agar lebih peduli dengan fasilitas umum vital yang dibangun dengan uang rakyat itu.
Segera setelah peristiwa perusakan halte tersebut, serikat pekerja TJ berinisiatif memasang spanduk khusus bertulisan ”Halte Ini Milik Rakyat yang Sedang Kami Perbaiki” di beberapa halte yang kebetulan jadi korban kerusuhan demonstrasi menentang UU Cipta Kerja. Serikat pekerja dengan tangkas tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Sehari setelah kerusuhan, ada 127 rute dan 2.485 bus yang tetap beroperasi melayani warga ibu kota. Kerusakan berat berupa konstruksi, alat pembayaran (gate), dan server mulai dibenahi. Begitu juga kerusakan sedang dan ringan
seperti beberapa konstruksi bangunan yang mengalami kerusakan atau kaca pecah, tapi halte masih dapat melayani.
Para pimpinan dan pekerja PT TJ bekerja bahu-membahu bersama dinas dan Biro Pemprov DKI di berbagai bidang menyelesaikan masalah tanpa hiruk pikuk, bekerja dalam senyap siang malam. Tidak hanya demi beroperasinya transportasi publik dengan baik, tetapi juga memperbaiki citra pemerintahan di mata masyarakat. Pemerintah hadir di saat sulit.
Peristiwa ”perusakan” haltehalte bus itu mencerminkan kesalahan kita dalam memandang fasilitas umum. Garrett Hardin pernah mencetuskan ide yang disebut ”Tragedy of the Commons” atau tragedi milik bersama. Dalam buku berjudul sama yang terbit pada 1968 itu, Hardin mendefinisikan tragedy of the
commons sebagai situasi dalam sistem sumber daya bersama di mana pengguna individu, yang bertindak secara independen sesuai dengan kepentingan mereka sendiri, berperilaku bertentangan dengan kepentingan bersama semua pengguna dengan menghabiskan atau merusak sumber daya bersama melalui tindakan kolektif mereka.
Sikap seperti itu masih ada di masyarakat kita. Barang atau fasilitas bersama cenderung diabaikan perawatannya atau dimanfaatkan semaksimal mungkin sampai rusak. Sedangkan fasilitas milik sendiri disayangsayang. Sikap semacam itu akan makin memuncak di momen protes ke pemerintah. Sebab, fasilitas milik bersama itu dianggap sebagai representasi pemerintah yang diprotesnya.
Anda boleh mengkritik saya, tetapi saya akan lindungi Anda dengan nyawa saya. Sikap Voltaire itu sebenarnya dapat menjadi inspirasi bagi semua pihak yang berseteru saat ini. Kita dapat saling menjaga dan melindungi satu sama lain dengan membangun rasa saling percaya. Kuncinya: kurangi kekerasan dari semua pihak.
Pemilik kekuasaan sebenarnya sedang memikul mandat dari rakyat yang saat sebagian darinya sedang marah, tidak percaya, dan protes. Relasi sosial politik seperti itu akan harmonis kalau semuanya mengedepankan sikap anti kekerasan. Demonstrasi protes kekuatan massa di satu sisi dan demonstrasi kekuatan penjaga ketertiban di sisi lain akan bertemu secara damai bila semuanya mengedepankan sikap yang beradab. Peradaban dapat dibangun dengan kelembutan hati seperti yang ditunjukkan Mahatma Gandhi dan Nelson Mandela. Tidak ada kekuatan yang lebih besar dari hati nurani yang merupakan anugerah dari Tuhan.
Marilah kita jaga milik bersama dengan hati nurani. Kekuatan terbesar ada di tangan rakyat dan waktu akan selalu membuktikannya. Tidak ada kekuatan yang melebihi keduanya. Rakyat dan waktu jugalah yang akan memelihara sarana dan prasarana umum yang dibangun dari uang rakyat. Dengan catatan: kita semua sadar secara penuh, hak mengeluarkan pendapat tidak sama dengan hak untuk merusak fasilitas publik atau melukai satu sama lain.
Pikiran boleh berbeda, tetapi hati harus tetap dingin dan tenang. Voltaire memiliki reputasi dunia sebagai pejuang pemberani melawan tirani, fanatisme, dan kekerasan. Dia dapat mengingatkan kita setiap saat, sebelum melangkah keluar rumah. Tidak salah kalau Thomas Jefferson memasang kata-kata mutiara Voltaire itu di pintu rumahnya. Dia tidak akan merusak fasilitas umum dan melukai sesama hanya karena berbeda pendapat.
*) Peneliti kebijakan publik dan pendidikan di Universitas Paramadina serta Universitas Negeri Jakarta