PSBB Jawa-Bali Tak Berarti tanpa Biopower
PEMERINTAH akhirnya memutuskan untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Jawa dan Bali. Keputusan itu merespons kecenderungan meningkatnya jumlah orang yang terpapar Covid-19 setiap hari. Misalnya, pada 6 Januari lalu, jumlah kasus baru mencapai angka 8.854 dengan total kasus 788.402.
PSBB diterapkan pemerintah karena tingkat kematian nasional mencapai 3 persen, sedangkan tingkat kesembuhan di bawah 82 persen. Kegiatan di tempat kerja pun dibatasi lagi dengan memberlakukan work from home. Pemerintah juga mengharuskan pusat perbelanjaan buka hanya sampai pukul 19.00.
Untuk memonitor imbauan di atas, pemerintah meningkatkan operasi yustisi yang dilaksanakan satpol PP dan TNI. Pendisiplinan masyarakat dengan menggunakan kekuasaan ini disebut biopower. Kehadiran kekuasaan semacam itu dalam pendisiplinan masyarakat sangat penting karena penerapan protokol kesehatan merupakan hal baru.
Razia penerapan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak,dan mencuci tangan) sebenarnya pernah dilakukan pemerintah daerah. Namun, semakin ke sini, razia itu jarang dilakukan. Kontrol kepada masyarakat pun terasa hilang. Kondisi ini harus menjadi evaluasi bersama bahwa dibutuhkan kerja sama untuk melawan Covid-19. Mulai pemerintah, masyarakat, komunitas, hingga influencer.
Diakui atau tidak, penanganan Covid-19 di Indonesia dihadapkan pada kondisi serbadilematis dan penuh keterbatasan. Pemerintah harus merealokasi anggaran dalam jumlah besar untuk masalah kesehatan. Pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi harus tetap terjaga. Permasalahan yang tak kalah pelik, penanganan pandemi harus dilakukan dengan cepat dalam kondisi infrastruktur kesehatan yang terbatas.
Karena itulah, paling realistis dan mudah untuk dilakukan dalam jangka pendek adalah mendisiplinkan gerakan 3M. Tinggal menjaga agar masyarakat benarbenar disiplin dalam menerapkan gerakan tersebut.
Perlu Biopower Biopolitik adalah rasionalitas politik yang menjadikan administrasi kehidupan dan populasi sebagai subjeknya. Hal ini untuk memastikan, menyokong, dan multiply life. Sedangkan biopower adalah cara biopolitik diterapkan dalam masyarakat yang melibatkan kekuasaan. Biopolitik berurusan dengan penduduk. Baik penduduk dalam konteks masalah biologis maupun masalah kekuasaan. Operasi yustisi satpol PP dan unsur TNI adalah bentuk dari cara biopower.
Contoh lain pendisiplinan yang dilakukan pemerintah adalah program keluarga berencana (KB). Pemakaian alat kontrasepsi dinilai berhasil mengendalikan kelahiran dan jumlah penduduk.
Dalam konteks pademi, pelibatan aparat TNI untuk mendisiplinkan masyarakat di era new normal perlu didukung. Namun, caranya perlu dipikirkan dengan matang. Misalnya, dengan konsep panopticon yang dikemukakan Foucault pada 1975 sebagai metafora pendisiplinan masyarakat modern dengan disiplin dan hukuman. Jeremy Bentham pada abad ke-18 mengilustrasikan panopticon sebagai sebuah bangunan (penjara). Bentuknya melingkar dengan pengawasan tunggal yang berada di tengah.
Pengawas bisa mengawasi semua narapidana, tapi narapidana tidak mengetahui bahwa sedang diawasi. Tujuan akhir panopticon yang digagas Foucault adalah kepatuhan dan utilitas dalam sistem. Panopticon tidak harus dimaknai sebagai bangunan, tapi bisa juga sebagai mekanisme kekuasaan dan diagram teknologi. Konsep ini bisa diterapkan dalam penerapan protokol kesehatan.
Mengawasi masyarakat tanpa merasa diawasi menjadi tantangan bagi pemerintah. Menurut Foucault, pendisiplinan bisa dilakukan dengan kekuasaan dan penggunaan teknologi. Sehingga ’’eksekusi publik’’ dan ’’rasa sakit’’ perlahan dihilangkan sebagai hukuman dalam masyarakat. Benang merah pernyataan Foucault adalah penerapan protokol kesehatan tanpa intimidasi dan represif.
Panopticon yang digambarkan Jeremy Bentham pun tidak terlepas dari kritik. Salah satunya dari Shirley Robin Letwin. Penjara panopticon adalah perangkat efisiensi mengerikan yang tidak meninggalkan ruang bagi manusia. Pelibatan TNI dalam pendisiplinan penerapan protokol kesehatan pastinya nanti menimbulkan pro dan kontra.
Humanis dan Partisipatif Penggunaan kekuasaan dalam pendisiplinan masyarakat di era new normal diharapkan lebih humanis, bukan represif. Hal ini bisa menjadi kunci keberhasilan penerapan protokol kesehatan. Evaluasi penerapan PSBB yang pernah dilakukan memang menunjukkan masih ada masyarakat yang kurang mematuhi protokol kesehatan. Meski demikian, aparat perlu menghindari cara-cara represif, termasuk dalam bentuk verbal.
Dengan cara itu, masyarakat diharapkan mematuhi protokol kesehatan penuh kesadaran murni dan riang gembira. Mengubah perilaku memang butuh waktu. Namun, jika penerapan protokol kesehatan dilakukan dengan persuasif dan humanis, masyarakat akan menerima dengan lebih simpatik.
Selain dilakukan TNI, Polri, dan pemerintah daerah, pengawasan kedisiplinan dalam menjalankan protokol kesehatan perlu melibatkan masyarakat. Artinya, masyarakat tidak hanya menjadi objek pendisiplinan, tapi juga menjadi subjek. Masyarakat bisa aktif dalam melakukan pengawasan dan sosialisasi penerapan protokol kesehatan di daerah zona merah. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi penerapan protokol kesehatan akan meringankan beban pemerintah.
Penguatan nilai-nilai sosial masyarakat dan pelibatan seluruh stakeholder juga menjadi kunci. Salah satu stakeholder potensial penerapan protokol kesehatan adalah suporter sepak bola. Ada The Jak Mania, Bonek, Bobotoh, Aremania, Panser Biru Snex, dan lain-lain. Kelompok suporter selama ini belum tersentuh dalam kebijakan penanganan Covid-19.
Pemerintah harus merangkul para suporter untuk deklarasi gerakan bersama melawan Covid-19. Di setiap rukun tetangga (RT) dibentuk suporter peduli Covid-19 yang disertai koordinator di tiap kelurahan atau desa. Nilai positif yang bisa dimanfaatkan dari suporter sepak bola adalah loyalitas dan esprit de corps. Jadi, suporter sepak bola menjadi panopticon di tempat tinggal masing-masing. (*)
*) Dosen Ilmu Politik & Sekretaris Pusat Komunikasi dan Informasi Publik (PKIP) Universitas Airlangga