Menagih Sisa Komitmen Pemimpin Daerah
Sejak dihelat pada 2004, pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di negeri ini memberlakukan model paket. Memilih calon kepala dan wakil kepala daerah. Ada cukup banyak pertimbangan mengapa sistem paket yang digunakan. Dari sisi filosofi, memimpin sebuah daerah tidak bisa dilakukan hanya sendirian. Seorang kepala daerah butuh pendamping. Agar bisa saling bertukar pikiran. Juga, bisa saling melengkapi, berbagi tugas, hingga saling menutupi kekurangan. Ibarat rumah tangga yang digawangi suami dan istri.
Dari segi kelancaran pemerintahan, fungsi kepala daerah dan wakilnya juga cukup jelas. Selain berbagi tugas, wakil kepala daerah juga bisa berperan sebagai pengganti ketika sang kepala daerah berhalangan. Demikian juga dari segi politik. Skema paket kepala dan wakil kepala daerah dalam pilkada bisa jadi salah satu cara untuk mempertemukan berbagai kepentingan politik.
Karena itulah, saat berkompetisi dalam pilkada, sang kepala dan wakil kepala daerah (yang kala itu masih berstatus calon) begitu kompak. Saling bahu-membahu, berbagi peran, demi bisa memenangkan kontestasi.
Namun, pepatah ’’tidak ada kawan dan lawan abadi di dunia politik’’ sepertinya masih istiqamah berlaku. Setelah menang pilkada dan terpilih, kepala dan wakil daerah kerap terlibat konflik.
Contoh terbaru terjadi di Pemkab Jember. Bupati petahana Faida (yang gagal menapaki periode kedua) dan Wakil Bupati Abdul Muqit Arief terlibat konflik. Pemicunya adalah perombakan pejabat pasca perhelatan pilkada. Konflik itu sampai memicu dualisme kepemimpinan di pemkab. Yang juga terimbas adalah macetnya jalan roda pemerintahan.
Situasi serupa terjadi di sejumlah kabupaten/ kota di Jawa Timur. Memang, konfliknya tidak terlihat. Namun, hawa-hawanya bisa dirasakan. Di salah satu daerah, ada wakil kepala daerah yang sudah jarang ngantor. Pemicunya adalah konflik dengan sang kepala daerah.
Situasi tersebut seakan sudah jadi fenomena. Sebab, terjadi di banyak daerah. Dan terbukti, yang menjadi korban adalah situasi di lingkungan pemerintahan yang berujung pada kualitas pelayanan publik.
Karena itu, kondisi tersebut perlu dicarikan solusi. Selain itu, dibutuhkan sikap kenegarawanan dari para kepala maupun wakil kepala daerah. Sebab, berpolitik tak hanya soal kekuasaan, tapi juga tentang memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjaga komitmen awal. (*)