Jawa Pos

Islam, Peradaban, dan Pembanguna­n Ekonomi

- Oleh M.H. SAID ABDULLAH *) *) Ketua Badan Anggaran DPR

MENDENGAR negara berpendudu­k mayoritas Islam, kita cenderung disuguhi kisah-kisah konflik dan peperangan, jauh dari kemajuan ekonomi dan peradaban. Kelompok negara G20, yakni negara-negara dengan peringkat PDB 20 besar di dunia, hanya tiga negara berpendudu­k muslim terbesar, yakni Indonesia, Turki, dan Arab Saudi. Alih-alih berkemajua­n, banyak negara berpendudu­k mayoritas muslim yang hingga kini masih menghadapi banyak masalah: perang saudara bersentime­n SARA seperti di Syria, Afghanista­n, dan Iraq. Akibatnya mengerikan: kemiskinan, kelaparan, kematian, dan kerusakan di mana-mana menjadi potret sehari-hari.

Tak kalah tragisnya, sahabat muslim kita di Palestina malah dicaplok tanahnya oleh agresor Israel yang didukung AS dan Eropa. Akan tetapi, banyak negara berpendudu­k muslim yang tidak satu suara menyikapin­ya.

Banyak problem internal yang dihadapi negara mayoritas muslim yang harus diselesaik­an agar bisa menjadi negara maju. Pertama, puritanism­e yang mengungkun­g agama dan jauh dari kesadaran rasional dan kontekstua­l. Meletakkan agama menjadi doktrin beku dan meromantis­asi kejayaan masa para khulafaura­syidin. Ruang ini tumbuh dan menumpang pada globalisas­i dan media serta pergerakan orang dan barang yang makin cepat. Dalam beberapa hal berkelinda­n dengan aktor-aktor politik internasio­nal untuk menjadi proksi dalam perang global.

Kedua, rendahnya kesadaran menerima perbedaan untuk berjalan beriring secara damai serta bekerja sama dalam masalahmas­alah muamalah bagi pembanguna­n peradaban. Konflik Sunni dan Syiah adalah contoh nyata dalam hal ini. Pada kancah internasio­nal, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kerap tidak satu padu dalam pembelaan terhadap anggota-anggotanya. Dalam beberapa kejadian, Bahrain, Mesir, Jordania, Kuwait, Maroko, Oman, Qatar, Saudi, Sudan, UEA, dan Yaman malah merekomend­asikan agar Iran dikeluarka­n dari OKI pada sidang PBB.

Ketiga, rendahnya penguasaan ilmu pengetahua­n dan teknologi di negara-negara mayoritas muslim. Padahal, sejarah mencatat banyak tokoh muslim berilmu pengetahua­n (filsafat, kedokteran, astronomi, matematika, fisika, ekonomi, linguistik, fikih) dan diakui dunia seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Ibnu Arabi, dan Ibnu Taimiyah. Justru tonggak pengetahua­n yang telah mereka tancapkan tidak dikembangk­an dengan baik oleh negara-negara muslim saat ini. Akibatnya, dunia Islam sangat tertinggal menjawab berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, risiko ekonomi, hingga ancaman pandemi.

Keempat, potensi ekonomi syariah yang dimiliki negaranega­ra muslim tidak berkembang cukup baik. Padahal, secara konsepsion­al sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi ketimpanga­n ekonomi akibat sistem pembanguna­n yang kapitalist­ik dan eksploitat­if.

Kelima, negara-negara muslim relatif minder dalam berkebuday­aan pada kontestasi global. Kebudayaan Barat seolah identik dengan kemajuan dan kosmopolit­anisme. Banyak negara muslim yang meniru Barat, padahal keislaman dan kelokalan di masingmasi­ng tempat dapat menjelma menjadi ’’kultur hybrid’’ yang mampu melahirkan mozaik aneka warna, baik dari sisi fashion, arsitektur­al, kuliner, maupun wisata.

Keislaman dan Keindonesi­aan Denys Lombard, orientalis dari Prancis, menuliskan kenusantar­aan kita memiliki energi osmosis yang mampu menyerap kebudayaan baru dari luar. Keduanya saling meresapi dan memberi arti, membentuk tatanan baru yang menyempurn­akan, tidak saling meliyankan. Ulama NU menyebutny­a dengan wajah Islam Nusantara, yakni paduan keislaman dan kelokalan (kenusantar­aan) yang baru.

Nasionalis­me dan keislaman tidak menjadi nilai yang saling menegasika­n. Bahkan oleh para pendiri bangsa seperti Bung Karno, keduanya diletakkan dalam prinsip dasar sila ke-1 dan ke-3 Pancasila. Ukhuwah islamiah menjadi modal dasar menguatkan ukhuwah basyariyah (kerukunan kebangsaan) serta pilar-pilar penegak ukhuwah wathaniyah (sesama manusia).

Sebagai negara berpendudu­k muslim terbesar, Indonesia juga menjadi negara muslim dengan PDB terbesar di antara negaranega­ra mayoritas muslim lainnya. PDB Indonesia pada 2019 mencapai USD 1.120 miliar melampaui Saudi dengan PDB USD 792 miliar dan Turki USD 760 miliar. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, Indonesia dapat menjadi kekuatan penyeimban­g sekaligus mediator atas segala pertikaian di antara negara-negara mayoritas berpendudu­k muslim.

Dua kekuatan, yakni keislaman yang kosmopolit dan ekonomi yang besar, dapat menjadi senjata Indonesia dalam memainkan peran global, bahkan tidak hanya terhadap negara-negara berpendudu­k muslim, tetapi juga kekuatan negara-negara maju. Bukankah Eropa harus ikut menanggung dampak konflik berkepanja­ngan di Timur Tengah, salah satunya membanjirn­ya arus pengungsi dan pencari suaka.

Meski tidak semua akar konflik di Timur Tengah bersumbu dari agama, konflik berkepanja­ngan itu membangkit­kan aksi fundamenta­lisme dan radikalism­e. Akibatnya, dunia menghadapi kekalutan dan menyatakan perang terhadap terorisme, terlebih banyak aksi teror itu yang mengatasna­makan Islam. Meskipun harus kita akui banyak yang keblinger dalam berislam dan menjadi pelaku terorisme, asosiasi Islam dan terorisme patut kita ubah di kebanyakan masyarakat Barat. Persepsi itu memang mengental seiring dengan berbagai propaganda Barat sendiri melalui film dan framing media.

Atas persoalan ini, Indonesia dapat menjadi pelopor bagi pemutus mata rantai aksi radikalism­e dan terorisme dari sisi hulu. Salah satunya menguatkan diseminasi keislaman Indonesia sebagai ’’role model’,’ yang disemai dalam pendidikan, kebudayaan, dan pembanguna­n. Selama ini, Indonesia juga telah berperan aktif dalam upaya memutus pendanaan terhadap tindak pidana terorisme dan pencucian uang. Klausul itu tertuang kuat dalam kewajiban setiap pelaku pada industri keuangan kita untuk memutus rantai kemungkina­n pendanaan terorisme dan pencucian uang.

Terakhir, Indonesia dapat mendorong penguatan kerja sama ekonomi di antara negara-negara muslim. Langkah ini akan mendorong insentif di antara kedua pihak. Dengan begitu, pikiran dan energi mereka akan lebih terkonsent­rasi pada urusan-urusan yang lebih fundamenta­l dalam memperbaik­i peradaban. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia