Legislator PDIP Tolak Vaksinasi Covid-19
VAKSINASI Covid-19 yang dimulai hari ini tak sepenuhnya mendapat respons positif. Bahkan, penolakan salah satunya datang dari gedung DPR. Kemarin (12/1) legislator PDIP Ribka Tjiptaning terang-terangan menolak saat rapat kerja Kementerian Kesehatan, BPOM, dan PT Bio Farma dengan Komisi IX DPR
’’Kalau soal vaksin, saya tidak mau divaksin,’’ kata Ribka dengan nada tinggi. Bahkan, ketika seluruh anak-cucunya yang ber-KTP DKI Jakarta diharuskan vaksinasi, Ribka enggan dan memilih membayar denda. ’’Meski bayar denda Rp 5 juta per orang, saya bayar. Jual mobil kek,’’ ucapnya.
Dia beralasan, vaksin Covid-19 belum lulus uji klinis ketiga. Hal itu, menurut Ribka, dikatakan perwakilan PT Bio Farma.
Dia pernah mengetahui bahwa vaksin antipolio yang disuntikkan malah mengakibatkan lumpuh layu. Kejadiannya di Sukabumi. Hal serupa terjadi di Majalaya. Penyuntikan vaksin untuk penyakit kaki gajah mengakibatkan 12 orang meninggal. Pengalaman itu didapat Ribka ketika menjabat ketua komisi IX pada 2005–2009.
Ribka memperingatkan, tidak ada yang boleh main-main dengan vaksinasi. ’’Kalau dipaksa, pelanggaran HAM lho,’’ tegasnya.
Dia juga mempertanyakan jenis vaksin yang akan diberikan secara gratis untuk masyarakat. Dalam laporan Kemenkes di DPR kemarin, ada lima vaksin yang bakal digunakan. Yakni, Sinovac, Novavax, COVAX/GAVI, AstraZeneca,
dan Pfizer. ’’Pasti yang murah untuk orang miskin,’’ tutur Ribka.
Pandemi, lanjut dia, bisa berujung bisnis. Yakni, jualan obat dan vaksin. ’’Karena bukan masanya APD, habis ini obat yang akan ramai,’’ ujarnya. Dia pun mengingatkan bahwa negara tak boleh berbisnis dengan rakyatnya.
Di sisi lain, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Hiariej menuturkan, masyarakat yang menolak vaksinasi Covid-19 bisa dihukum 1 tahun penjara. Ketentuan itu merujuk UU Nomor 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/ atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan sehingga mengakibatkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp 100 juta.
Hal itu disampaikan Hiariej saat menjadi narasumber webinar yang diselenggarakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) beberapa waktu lalu. ’’Ketika ada pertanyaan apakah ada sanksi atau tidak (untuk masyarakat yang menolak vaksin), secara tegas saya mengatakan ada sanksi. Mengapa sanksi harus ada? Karena ini (vaksinasi) merupakan suatu kewajiban,’’ paparnya dalam webinar yang disiarkan di channel YouTube PB IDI tersebut.
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menegaskan, vaksinasi adalah suatu kewajiban. UU Kekarantinaan Kesehatan, tepatnya pasal 9, menyebutkan bahwa setiap orang harus mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. ’’Ketika kita menyatakan bahwa vaksin ini adalah kewajiban, maka secara mutatis mutandis jika ada warga negara yang tidak mau divaksin, bisa dikenai sanksi. Bisa berupa denda, bisa berupa penjara, bisa juga keduanya,’’ jelas Hiariej.
Menurut dia, bukan hanya menolak vaksin yang bisa dikenai sanksi. Perbuatan lain yang tidak sesuai dengan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dapat dijatuhi hukuman serupa. Misalnya, tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak. ’’Sebisa mungkin sanksi adalah jalan terakhir. Apa yang harus diutamakan bersifat persuasif, dan lebih diutamakan lagi adalah sosialisasi dari temanteman tenaga kesehatan,’’ imbuhnya.