Noda Bulu Tangkis Indonesia
Bulu tangkis Indonesia ternoda. Saat kepengurusan PP PBSI (Pengurus Pusat Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) baru mulai bekerja, kabar kurang mengenakkan datang. Delapan atlet bulu tangkis Indonesia disanksi Federasi Bulu Tangkis Dunia atau BWF. Mereka dinilai telah merusak sportivitas karena melakukan pengaturan pertandingan atau match fixing yang dipakai judi.
Padahal, dalam setiap pertandingan, sebuah kemenangan ditentukan lewat upaya yang memeras keringat dan perjuangan keras. Bukan malah sebaliknya seperti ’’vonis’’ yang dijatuhkan kepada delapan atlet, yakni mengalah karena sudah diatur.
Hukuman yang dijatuhkan BWF pun tidak ringan. Ada yang divonis belasan tahun, bahkan ada yang seumur hidup. Kita harus mendukung penegakan disiplin semacam itu. Sebab, tindakan mengatur pertandingan sungguh tak layak dilakukan. Apalagi di turnamen internasional yang masuk kalender BWF.
Memang akhirnya ada yang melakukan banding ke Badan Arbitrase Internasional. Alasannya, mereka tidak mengatur hasil pertandingan. Kita tunggu saja hasil banding tersebut.
Saat ini masyarakat cukup terkejut. Sebelumnya, match fixing dianggap hanya terjadi di sepak bola. Bahkan, di Indonesia, match
fixing pernah membuat pemerintah turun tangan. Sampai-sampai polisi membentuk tim antisuap khusus menangani kecurangan di sepak bola. Hasilnya, beberapa pertandingan mencurigakan dibongkar dan membawa beberapa orang berurusan dengan hukum, bahkan masuk penjara.
Kita tak ingin di Indonesia match fixing juga merembet ke pertandingan lokal. Bagaimanapun, bulu tangkis merupakan olahraga yang bisa dibanggakan di tingkat dunia. PP PBSI harus bersikap tegas dengan kasus hukuman kepada delapan atlet Indonesia tersebut. Mereka juga tetap ’’anak’’ PBSI.
Jika PBSI memberikan perhatian dan tegas aturannya, tentu ’’anak-anak’’ itu tak berani melakukan pertandingan mencurigakan. Marilah sanksi yang diberikan BWF itu kita jadikan pelajaran. Baik oleh PBSI, pelatih, maupun atlet. Jangan merusak sportivitas hanya demi uang. Salam olahraga. (*)