Menyongsong Era Baru Ekosistem Halal
SEBAGAI negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kewajiban memberikan perlindungan dan jaminan atas produk halal. Berdasar pasal 29 ayat 2 UUD 1945, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Termasuk di dalamnya jaminan atas produk halal yang diwujudkan dengan hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Di sisi lain, Indonesia menjadi pasar yang sangat besar dan menggiurkan bagi negara-negara lain untuk memasukkan dan menjual produknya. Beberapa negara seperti Jepang dan Thailand yang notabene berpenduduk minoritas muslim malah sangat berambisi untuk menjadi pusat halal dunia.
Isu halal tak lepas dari kejadian 1988 silam. Saat itu sejumlah media menurunkan berita hasil penelitian dosen Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Dr Ir H Tri Susanto MAppSc. Dalam berita disampaikan, beberapa jenis makanan yang beredar di Indonesia seperti susu, biskuit, cokelat, es krim, dan kecap diindikasikan mengandung lemak babi. Berita tersebut membuat masyarakat resah. Guna meredam situasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian merespons dengan mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) pada 1989 (CNN Indonesia, 2019).
Seiring berjalannya waktu, edukasi masyarakat yang terus meningkat dan masih adanya kasus isu kehalalan produk yang muncul mendorong negara untuk hadir dalam perlindungan dan jaminan produk yang halal. Pemerintah kemudian menerbitkan UU 33/2014 tentang JPH sebagai respons dan bentuk kepastian hukum kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Bagi umat Islam, mengonsumsi produk halal memiliki landasan teologis sebagaimana tertuang dalam Alquran. ”Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah: 168)
Pada ayat lain juga disebutkan, ”Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al Maidah: 88)
UU 33/2014 pasal 1 menyebutkan, produk adalah barang dan atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud jasa adalah penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian.
Beberapa poin penting dalam UU 33/2014, yang kemudian diturunkan ke Peraturan Pemerintah (PP) 31/2019 tentang Implementasi JPH dan PMA 26/2019 tentang Penyelenggaraan JPH, yaitu:
Pertama, perubahan status halal dari sukarela menjadi wajib. Terhitung sejak 17 Oktober 2019, semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal (ayat 4). Kedua, terbentuknya lembaga baru regulator halal, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang memiliki otoritas menerbitkan sertifikat halal, setelah ada penetapan fatwa dari MUI.
Ketiga, lembaga yang terlibat dalam proses sertifikasi halal adalah pelaku usaha, LPH, MUI dan BPJPH. Keempat, adanya organ baru, yaitu penyelia halal yang bertanggung jawab pada proses produk halal (PPH). Kelima, perubahan jangka waktu berlakunya sertifikat halal dari 2 tahun menjadi 4 tahun.
JPH juga diatur dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Beberapa poin penting, di antaranya, pemerintah menanggung biaya sertifikasi untuk usaha mikro dan kecil (UMK). Lalu, ada percepatan dan kepastian dalam proses sertifikasi halal. Sebelumnya masa pengurusan sertifikat halal membutuhkan waktu 97 hari bagi pelaku usaha dalam negeri dan 117 hari bagi pelaku usaha luar negeri. Maka, di regulasi baru hanya butuh waktu 21 hari kerja.
Lembaga pemeriksa halal (LPH) yang selama ini hanya bisa dilakukan LPPOM sekarang bisa didirikan ormas Islam dan perguruan tinggi (PT). Poin penting lainnya, kewajiban bersertifikat halal bagi UMK cukup didasarkan atas pernyataan halal pelaku UMK
sesuai standar yang ditentukan BPJPH.
Dampak bagi Stakeholder Berlakunya regulasi baru tentang JPH diharapkan membawa dampak positif. Yang utama, masyarakat makin merasa aman dan terlindungi dengan adanya kepastian hukum sebuah produk. Contoh terbaru, vaksin untuk mencegah Covid-19 disyaratkan yang sudah mendapatkan fatwa halal tertulis dari MUI dan diterbitkan sertifikat halal oleh BPJPH pada 13 Januari 2021.
Regulasi baru juga diharapkan memberikan nilai tambah produk dari para pengusaha sehingga makin memiliki daya saing dan market share yang kian luas, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ormas Islam pun makin mendapatkan kesempatan luas terlibat dalam ekosistem halal, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan LPH dan halal center.
PT makin terbuka kontribusinya dalam pengembangan ekosistem halal yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya dengan menyediakan SDM sebagai auditor halal dan penyelia halal serta penyedia sarana laboratorium yang lebih modern dan canggih, mengingat tantangan ekosistem halal ke depan kian kompleks.
Ekosistem halal sudah menjadi keniscayaan seperti dicontohkan kebijakan pemerintah yang mensyaratkan vaksin Covid-19 harus memenuhi unsur aman dan halal. Bahkan, dengan keluarnya fatwa halal vaksin Sinovac, pemerintah Tiongkok mengajak Indonesia untuk bersama-sama mendukung ketersediaan dan keterjangkauan vaksin Covid-19 di negara-negara berkembang dan negara-negara Islam (jpnn. com, 2021).
Dengan demikian, ekosistem halal memberikan harapan baru yang menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat. Serta bisa menjadikan Indonesia sebagai pemimpin halal dunia. (*)
*) Ketua umum Yayasan ICAM Indonesia dan Dewan Pembina Halal Institute