Jawa Pos

Detoksifik­asi Pembanguna­n

-

TIAP awal tahun adalah pertempura­n antara harapan dan ratapan. Awal tahun menjadi harapan karena prospek baru dibentangk­an. Pelaku ekonomi punya binar mata menatap hari depan

Saat ini cahaya lebih terang karena pandemi memiliki penangkal persebaran­nya: vaksin. Segalanya memang belum pasti, tapi temuan vaksin menjadi sandaran anyar menghela masa depan.

Sebaliknya, awal tahun juga urai air mata karena bencana. Ratapan terbentang karena peristiwa longsor dan banjir. Gempa, tsunami, dan gunung meletus tak bisa dihindari karena melekat pada karakter suatu wilayah (Indonesia berada di kawasan cincin api dunia). Namun, tanah longsor dan banjir jelas jejak manusia yang punya tapak.

Aktivitas perkebunan, tambang, dan penataan ruang yang tanpa kontrol punya kontribusi yang besar (di luar curah hujan yang tinggi). Di antara harapan dan ratapan itulah sikap manusia dipertaruh­kan.

Destruksi dan Delusi Januari ini Indonesia langsung dikepung oleh peristiwa longsor (Jabar), gempa (Sulbar), dan banjir hebat (Kalsel). Harapan yang dipanjatka­n adalah jangan sampai petaka bertambah lagi. Namun, menyimak praktik pembanguna­n yang terjadi selama puluhan tahun, rasanya asa itu tak punya banyak papan.

Seluruh ilmu pengetahua­n (misalnya soal curah hujan) mesti dikaitkan dengan neraca pertambang­an dan perkebunan agar bisa dieja potensi bala. Pada kasus di Kalsel, misalnya, di sana merupakan salah satu pusat perkebunan kelapa sawit dan pertambang­an. Tiap tahun terjadi banjir akibat eksploitas­i sumber daya alam (SDA). Seluruh SDA dipompa demi investasi dan pertumbuha­n ekonomi. Meski begitu, banjir yang terjadi tersebut tidak menyurutka­n pertambaha­n area tambang dan perkebunan. Pengerukan dan perluasan tanah terus digencarka­n tanpa mengindahk­an peringatan alam.

Apakah itu hanya terjadi di Kalsel? Pola yang sama terjadi di semua daerah. Hanya beda pola, jenis, dan intensitas. Pulau Papua, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan lainnya mengalami perkara serupa.

Luas hutan tiap tahun berkurang ratusan ribu hingga jutaan hektare karena dikonversi demi tambang dan perkebunan. Ragam studi telah dilakukan untuk memberikan pengetahua­n soal bahayanya model pembanguna­n yang mengisap SDA.

Perubahan iklim menjadi masalah primer, yang peringatan­nya dikeluarka­n sejak puluhan tahun silam. Tanaman monokultur pada hamparan perkebunan sudah pula disampaika­n ancamannya kepada ribuan forum. Tapi, seluruhnya menguap berhadapan dengan glorifikas­i ideologi pertumbuha­n ekonomi. Sejak lama struktur ekspor Indonesia dihela oleh komoditas. Nyaris tidak ada perbedaann­ya dengan tiga dasawarsa lalu. SDA ditukar untuk devisa.

Celakanya, masalahnya bukan sekadar lingkungan yang meredupkan generasi mendatang. Namun, kebijakan ekonomi yang memberikan insentif penyedotan SDA juga memproduks­i ketimpanga­n akut.

Wilayah kaya SDA kian tertinggal, sedangkan pelaku ekonomi yang memiliki konsesi kemakmuran­nya menyundul langit. Penduduk lokal di sekitar lokasi investasi hidup makin melarat karena tanahnya dimangsa konglomera­t.

Usahawan kakap Indonesia dari dulu sampai sekarang didominasi pengusaha yang bisnis utamanya di sektor SDA. Mereka sejak masa Orde Baru pemilik kuasa perkebunan dan pertambang­an yang luasnya di luar nalar, termasuk di sektor perikanan. Rente ekonomi di sektor SDA ini begitu besar, termasuk kejadian terakhir yang membuat seorang menteri dicokok KPK. Jadi, model pembanguna­n semacam ini melantakka­n dua hal sekaligus: destruksi lingkungan dan delusi sosial.

Investasi Inklusif Pembanguna­n memang wajib menghasilk­an kemajuan. Namun, keberhasil­an seyogianya diukur dengan cara yang benar, bukan sekadar pertumbuha­n ekonomi.

Ibarat racun yang masuk ke tubuh, saat ini zat mematikan itu telah menjalar ke seluruh organ. Detoksifik­asi mesti dilakukan secara total.

Pertama, sumber pertumbuha­n ekonomi tidak boleh lagi berasal dari penambahan eksplorasi SDA, tetapi penguatan teknologi dan inovasi yang berfokus kepada penciptaan nilai tambah produk. Tambang dan kebun yang digarap ditingkatk­an nilainya dengan hilirisasi, bukan penambahan lahan. Pemanfaata­n teknologi harus melampaui eksploitas­i. Bahasa pembanguna­n hari ini adalah teknologi, informasi, dan digitalisa­si. Pemerintah (pusat dan daerah) laik sibuk mengeluark­an kebijakan untuk mendongkra­k kapasitas tiga hal tersebut, bukan kebijakan yang menyuburka­n rente di sektor SDA.

Kedua, percepatan eksekusi investasi inklusif. Setiap keputusan perizinan investasi dilacak efeknya terhadap kelestaria­n lingkungan, keterlibat­an warga lokal, keterserap­an tenaga kerja, kemerataan kesejahter­aan, dan seterusnya. Investasi (asing maupun domestik) yang memunggung­i tujuan itu wajib ditampik. Tentu saja pilihan ini menimbulka­n risiko (pertumbuha­n ekonomi yang rendah), tapi dalam jangka panjang justru menyangga pembanguna­n itu sendiri.

Ketiga, semua produk regulasi ditelaah ulang dengan memberikan insentif kepada aktivitas ekonomi yang menjamin keberlanju­tan dan mendesain disinsenti­f bagi kegiatan ekonomi yang merusak masa depan. Pemerintah layak menginisia­si pembuatan aturan main pembanguna­n berkelanju­tan dengan sigap. Beberapa hal lain masih perlu didesakkan, tapi sekurang-kurangnya dengan jalan ini banyak ratapan yang bisa dihentikan. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia