Kualitas Belum Standar, Harga Terlalu Rendah
Temuan Gubernur saat Tinjau Sentra Penggilingan Padi
LAMONGAN, Jawa Pos - Pemerintah telah menetapkan Jatim sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Sejauh ini, target itu tercapai. Produksi gabah dari provinsi ini cukup tinggi.
Namun, di balik capaian tersebut, ada persoalan yang cukup pelik. Ternyata, padi hasil panen para petani di Jatim belum terserap secara maksimal. Alasannya kualitas. Situasi itu mendapat atensi dari pemprov.
Hal itu terungkap saat Gubernur Khofifah Indar Parawansa meninjau sejumlah sentra penggilingan gabah di Lamongan dan Bojonegoro. Dalam kunjungan tersebut, beragam keluhan diperoleh orang nomor satu di Jatim itu.
Salah satu yang paling dikeluhkan para petani adalah serapan gabah oleh Bulog. Solikin, salah seorang pemilik usaha penggilingan di Desa Puter, Kecamatan Kembangbahu, Lamongan, mengaku bisnisnya sedang sepi. Sebab, kualitas gabah tidak memenuhi standar Bulog. ”Banyak yang tidak bisa terjual,” ungkapnya.
Hal itu tidak terlepas dari aturan standar gabah yang ditetapkan Bulog. Mulai kualitas dan ukuran harus sesuai standar SNI hingga kadar air. Dampaknya, banyak gabah petani yang tidak terserap.
Selain itu, yang juga jadi keluhan adalah harga. Dia mengatakan, harga eceran tertinggi Bulog adalah Rp 8 ribu Tapi, harga gabah di lapangan Rp 6.700. Pada angka tersebut, petani rugi. ’’Kami berharap, harga bisa pada posisi sekitar Rp 7.500.”
Selain itu, yang dikeluhkan adalah peralatan yang masih tradisional. Problem tersebut berpengaruh pada kualitas.
Demikian pula saat gubernur berkunjung ke tempat penggilingan di Desa Banjarsari, Kecamatan Trucuk, Bojonegoro. Keluhan yang disampaikan pelaku usaha penggilingan gabah hampir sama. Standar dan kualitas mengakibatkan banyak gabah tidak terserap. Mereka menginginkan solusi dari pemerintah.
Menyikapi situasi tersebut, Khofifah mengatakan bahwa gabah-gabah yang tidak terserap diusahakan bisa ditangani. Sejumlah kebijakan tengah dijajaki pemprov. Salah satunya bekerja sama dengan Baznas untuk menyerap gabah tersebut. ’’Program ini di luar program Bulog,’’ ucapnya.
Selain itu, gubernur perempuan pertama di Jatim tersebut menyarankan agar gabungan kelompok tani (gapoktan) berkoordinasi dengan pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan peralatan. ”Dengan begitu, kebutuhan para gapoktan bisa dipenuhi. Nantinya ada yang berperan sebagai operator, ada pula yang menjadi regulator,’’ jelasnya.