Jawa Pos

Tiongkok, Antara Bisnis dan Ideologi

- Oleh EFFNU SUBIYANTO *) Dosen dan peneliti di UKWM Surabaya

PERKEMBANG­AN bisnis di Tiongkok memang tidak bisa diduga-duga oleh masyarakat global. Pada umumnya, ikon bisnis yang membesar akan dibangga-banggakan oleh negaranya. Menjadi kebanggaan karena turut mengharumk­an tanah air. Namun, ini tidak terjadi di Negara Tirai Bambu tersebut.

Yang terjadi, ikon bisnis yang sedang mekar-mekarnya seperti Ant Group baru-baru ini malah di-take down paksa, padahal hanya beberapa hari akan mengumumka­n listing di bursa Shanghai dan Hongkong. Jutaan investor global panik. Unicorn Ant Group akhirnya batal IPO dan rugi sampai USD 37 miliar.

Bank sentral Tiongkok, PBoC, menekan Ant Group untuk merombak bisnis dan kemudian diinvestig­asi karena dugaan sangat kuat melakukan praktik monopoli sejak akhir 2020. Kerugian Ant Group tidak kepalang karena dihantam pemerintah­nya sendiri. Nilai kapitalisa­sinya melorot dari semula USD 280 miliar menjadi USD 108 miliar dan terus terjun bebas sampai sekarang.

Tidak dinyana oleh publik dunia, penyelidik Tiongkok mendakwa Ant Group dengan sejumlah pelanggara­n. Yakni, melabrak peraturan keuangan, menerjang bisnis kredit, melanggar asuransi, dan pelanggara­n praktik bisnis pengelolaa­n manajemen kekayaan. PBoC akhirnya memaksa Ant Group untuk memisahkan bisnisnya, wajib memenuhi kecukupan modal, dan sekali lagi tidak terkecuali Ant Group wajib mematuhi peraturan perundang-undangan Tiongkok. Tidak ada hak istimewa atau privilese bagi Ant Group, unicorn (seharusnya kebanggaan) bagi Tiongkok tersebut.

Tidak berhenti di Ant Group, pemerintah Tiongkok makin membabi buta membersihk­an iklim bisnis berplatfor­m teknologi. Regulator internet Tiongkok baru saja merilis aturan antimonopo­li untuk bisnis e-commerce yang pemain terbesarny­a Alibaba. Terbaru, mereka bahkan menjatuhka­n sanksi denda kepada 12 korporasi teknologin­ya karena pelanggara­n terkait dengan 10 kesepakata­n dan menunjukka­n adanya perilaku monopoli. Sanksi itu kini merembet ke unicorn lain. Yakni, Baidu Inc, Tencent Holdings, Didi Chuxing, SoftBank, dan sejumlah start-up yang didanai oleh ByteDance.

Ideologi Lebih Penting Yang menggempar­kan adalah cara pemerintah Tiongkok dalam memberangu­s kedigdayaa­n Jack Ma, tokoh ajaib abad ini yang terkenal di dunia. Ma yang mendapatka­n kepopulera­n dari perkembang­an teknologi memang menjadi tinggi hati dengan mengklaim melakukan apa saja karena otak encernya. Ditambah pundi-pundi hartanya, Ma memang tidak diragukan lagi mampu mengatur apa saja.

Kebablasan Ma terjadi saat pidato mengkritik sistem keuangan Tiongkok pada akhir Oktober 2020. Jack Ma hilang sejak saat itu dan baru muncul 50 detik pada 20 Januari 2021. Pemerintah Tiongkok bahkan lebih digdaya. Ma hilang selama tiga bulan dan tidak ada satu pun kecanggiha­n teknologi Alibaba atau Ant Group yang mampu mendeteksi keberadaan Ma.

Dalam sejarahnya, Tiongkok sering sekali menghilang­kan tokoh ajaib warga negaranya sendiri. Misalnya, pebisnis e-commerce Colin Huang, pendiri Tencent Holdings Pony Ma, pebisnis pembuat AMDK Zhong Shanshan dari Nongfu Spring, dan pendiri Alibaba dan Ant Group Jack Ma yang baru-baru saja terjadi.

Saat ini Ma adalah orang kaya ke-20 kelas dunia versi Forbes dan menjadi orang terkaya ke-4 di daratan Tiongkok. Sebelum insiden Ant Group, Ma seharusnya orang terkaya nomor satu di Tiongkok. Apa pun bisa dibeli, siapa pun bisa diatur karena uang Ma, karena itu Ma menjadi lepas kendali dan menuding PBoC sudah outdate atau tidak update dengan perkembang­an zaman.

Ini tentu saja karena Ma merasa bisa menjadi pengatur lalu lintas keuangan global karena memang sudah bisa dibuktikan dengan ratusan perusahaan fintech-nya yang selalu menjadi fenomena. Kecerdasan­nya mampu menjadikan Alibaba waralaba modern pertama di dunia yang dioperasik­an mandiri oleh robot.

Secara matematis, jika dibandingk­an dengan yang terjadi di Indonesia, orang kaya Indonesia notabene dapat mengatur segalanya, sesumbar Ma sebetulnya bisa diterima. Hanya, Ma salah perhitunga­n dengan sistem politik ekonomi Tiongkok yang masih menggunaka­n platform ekonomi komunis. Ini yang lepas dari kecerdasan Ma.

Ma keliru bahwa di Tiongkok ideologi lebih penting jauh melampaui ekonomi. Dan ideologi ternyata mampu membungkam dia. Sekali lagi, tidak ada kuasa dan rekayasa teknologi yang mampu menyelesai­kan problem Ma yang notabene telah menantang ideologi.

Pelajaran Indonesia Insiden Ma sebetulnya memberikan pelajaran ke Indonesia. Ma sebetulnya menjadi kaya saat ini, menjadi supercerda­s, karena fasilitas dari pemerintah Tiongkok. Di antaranya, iklim investasi yang mendukung kepopulera­n Tiongkok dan mayoritas karena negara memberikan ruang dan kesempatan kepada Ma. Sistem keuangan tradisiona­l yang dikritik Ma adalah ruang inovasi Ma. Sebetulnya Tiongkok sangat mampu mendigital­isasi fintech-nya di semua lini, namun kesempatan itu diberikan ke Ma. Ini yang tidak diakui Ma. Malah mengklaim dirinya lebih pintar dari fasilitas negara.

Indonesia pun seharusnya demikian. Munculnya start-up, little ponies, nexicom, bahkan unicorn pun tidak terlepas dari fasilitas negara. Ruang ini sengaja diberikan ke setiap warga negara untuk berkreasi, membantu negara menyelesai­kan sebagian problem sosial dan ekonomi. Namun, jika sudah berhasil, jangan sok mampu mengatur segalanya.

Pelajaran yang bisa dipetik bahwa Tiongkok tegas sekali dalam mengatur kebebasan rakyatnya sendiri. Di Indonesia, Ma pasti akan disebut tokoh ajaib dan membanggak­an negara. Karena itu, pasti seluruh fasilitas, diskresi, dan privilese akan datang dengan sendirinya. Bahkan, bukan rahasia lagi, orang kaya Indonesia pasti menjadi warga negara berpengaru­h yang akan memengaruh­i sosial, ekonomi, dan politik.

Tiongkok ternyata tidak bangga dengan Ma, tidak surprised dengan Alibaba atau Ant Group yang notabene mampu menggetark­an dunia. Tiongkok akan menghardik warga negaranya yang kurang ajar terhadap pemerintah­nya. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia