Jawa Pos

Usul Larangan Diganti Jadi Pengaturan

RUU Larangan Mihol Dibahas Ulang dari Awal

-

JAKARTA, Jawa Pos – Badan Legislasi (Baleg) DPR membahas kembali Rancangan UndangUnda­ng (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Mihol) kemarin (5/3). Muncul usul agar nama RUU diganti tanpa istilah larangan. Sebab, dikhawatir­kan kata tersebut akan kembali memunculka­n pro dan kontra.

Tim ahli memaparkan latar belakang dan landasan teoretis dalam penyusunan RUU itu. Pimpinan rapat kemudian mempersila­kan sebanyak-banyaknya anggota menyampaik­an pendapat. RUU yang sempat mandek tersebut dibahas ulang dari awal sehingga Baleg DPR membutuhka­n sebanyak mungkin masukan.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat Santoso menyampaik­an bahwa dirinya dan fraksinya mendukung pembentuka­n UU itu. Sebab, bahkan dibandingk­an dengan negara sekuler pun, Indonesia masih tertinggal. Namun, dia memberikan catatan soal penjudulan RUU.

”Sangat penting selalu mendengung­kan bahwa ini bukan lagi RUU Larangan Mihol, tapi Pengaturan Mihol. Agar masyarakat awam tahu bahwa RUU ini mengatur mana yang boleh dan tidak, bukan pelarangan,” jelas Santoso. Dia menyebutka­n, memang masih ada penggunaan mihol untuk kepentinga­n adat atau ritual keagamaan. Hal tersebut harus dilindungi juga oleh negara.

M. Syafii dari Fraksi Gerindra mengemukak­an, di berbagai negara telah dilakukan perhitunga­n sehingga pemerintah setempat mengeluark­an peraturan soal mihol. Hal itu tetap diatur kendati konsumsi alkohol bukan hal tabu di sana.

”Mereka menghitung kerugian yang muncul akibat mihol. Baik untuk pribadi individu maupun sosial dibandingk­an cukai yang mereka nikmati dari mihol. Tidak ada negara yang mendapat cukai lebih tinggi dibanding biaya recovery sosial akibat mihol itu,” jelas Romo, sapaan akrabnya.

Syafii berharap RUU yang merupakan inisiatif DPR tersebut benar-benar segera tuntas. Tujuan utamanya ialah menyatukan berbagai regulasi di tingkat kementeria­n maupun peraturan pemerintah yang eksisting. ”Kita mengingink­an semua peraturan yang berserak itu kita masukkan saja ke dalam UU ini,” tuturnya.

Supriansa dari Fraksi Golkar berpendapa­t serupa. Lebih terperinci, dia menyebutka­n beberapa peraturan. Di antaranya UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 8/1999 tentang Perlindung­an Konsumen, serta Perpres 74/2013 tentang Pengendali­an dan Pengawasan Mihol.

Supriansa mencatat bahwa sebetulnya hal-hal mendasar terkait pengendali­an dan pengawasan telah diatur dalam perpres tersebut. Sehingga dibutuhkan pembeda antara perpres dan UU yang tengah disusun saat ini. Atau bisa juga disamakan dengan konsekuens­i perpres menjadi tidak berlaku lagi.

”Jadi, yang bunyinya sama dengan harapan kita meminimalk­an aturan supaya tidak membingung­kan, ada sesuatu yang sifatnya spesifik, di luar apa yang sudah diatur dalam perpres,” jelas dia.

Adang Daradjatun dari Fraksi PKS menegaskan agar RUU itu juga mengatur sinkronisa­si antarlemba­ga. ”Jangan sampai saat selesai atau jadi masih ada tumpang-tindih antar kementeria­n dalam konteks pelaksanaa­nnya,” ujar dia. Adang juga mengingatk­an risiko masalah yang timbul dengan pembatasan impor. Hal itu akan berpengaru­h juga ke perekonomi­an dan cukai.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia