Jawa Pos

Ingin Rawat Ingatan Anak-Anak Surabaya agar Tak Melupakan Sejarah

Ini mirip ensikloped­ia. Sebanyak 160 objek peninggala­n sejarah dirangkum dalam untaian kalimat dan parade foto. Sejumlah permainan dan adat budaya tempo doeloe juga tak luput dari sorotan agar anak-anak zaman sekarang tidak buta sejarah.

- UMAR WIRAHADI,

’’Awakku iki wes sepuh. Ora gelem getun mburi,’’ kata Yatim Subhakti kepada Jawa Pos kemarin (5/4). Suaranya masih lantang dan tegas. Di tengah perbincang­an, sesekali suara tawanya pecah.

Yatim adalah pengagum sejarah Kota Surabaya. Maklum, pria berusia 64 tahun itu merupakan arek Suroboyo tulen. Lahir dan besar di Kota Pahlawan. Nah, berbagai pengetahua­n soal sejarah tempo doeloe itu telah dituangkan dalam buku berjudul Soerabaia Masa Lalu dan Masa Kini

J

’’Menulis buku ini seperti mengumpulk­an kenangan,’’ ujarnya lirih. Betapa tidak. Sejumlah materi yang ditulisnya dalam buku setebal 153 halaman itu tidak lagi ditemukan pada zaman sekarang. Tinggal kenangan. Salah satunya tradisi manten pegon. Pada 1960-an, tradisi itu masih ditemukan. Manten pegon adalah adat budaya pernikahan warga Surabaya. Busana pengantin pria, misalnya, sangat kental aroma budaya Arab dan India. Untuk busana pengantin wanita, nuansa Tiongkok dan Eropa sangat terlihat. Saat memasuki area kampung, mempelai akan disambut tembang-tembang.

’’Sekarang tradisi ini sudah punah,’’ tuturnya.

Yatim juga melempar kenangan dengan keberadaan Taman

Hiburan Rakyat (THR). Itu adalah sarana hiburan bagi warga Surabaya zaman dulu. Berbagai jenis kesenian rakyat ditemukan di THR. Mulai ludruk, ketoprak, srimulat, wayang orang, hingga panggung hiburan lainnya.

Buku itu juga bercerita tentang kehidupan sekolah zaman lampau. Pada 1950 hingga 1960an, lanjut dia, masih ditemukan anak-anak sekolah membawa sabak. Itu semacam papan kayu yang dilapisi batu karbon hitam. Benda tersebut difungsika­n sebagai alat tulis-menulis oleh siswa.

Yatim berseloroh bahwa sabak pada zaman sekarang sama dengan tablet atau laptop. Sehingga pada zaman itu, tutur dia, tidak semua anak bisa membawa sabak ke ruang kelas. Hanya anak-anak dari keluarga ekonomi berada yang punya. ’’Mengapa saya hadirkan kisahkisah begini? Ini agar anak-anak zaman sekarang tahu bagaimana susahnya belajar dulu,’’ ujar kakek empat cucu itu.

Buku itu juga mengetenga­hkan sejumlah tempat bersejarah yang menjadi peninggala­n sejarah Indonesia di Surabaya. Misalnya, Hotel Majapahit berikut peristiwa heroik perobekan bendera pada 19 September 1945. Yatim juga bercerita tentang pendaratan sekutu di Surabaya pada Oktober 1945. Selain memakan banyak korban jiwa rakyat Surabaya, pertempura­n itu juga membunuh Brigjen A.W.S. Mallaby. ’’Saya ingin rawat ingatan anak-anak Surabaya agar tak melupakan sejarah ini,’’ imbuhnya.

Yatim mengaku tidak mudah menulis buku tersebut. Dengan kesabaran dan kegigihann­ya, dia mengumpulk­an data sedikit demi sedikit dan secara bertahap. Dia membutuhka­n waktu sampai lima tahun sebelum akhirnya bisa naik cetak. ’’Untuk bisa cetak pun tidak mudah. Karena butuh biaya yang tidak sedikit. Itu semua uang pribadi yang saya tabung sedikit demi sedikit,’’ akunya, lalu tertawa.

Kini dia mengaku cukup puas. Sebab, dia berhasil menuntaska­n sebagian misi pribadinya untuk menulis buku sejarah. Di tengah keterbatas­an, Yatim mengaku sempat putus asa. Ingin menyerah untuk tidak melanjutka­n penulisan buku. Namun, dia terlecut oleh kata-kata Bung Karno. Bunyinya, ’’Jangan jadikan kepalamu sebagai perpustaka­an. Kalau kau mati, apa perpustaka­an akan ikut dikubur?’’

’’Itulah yang melecut semangat saya untuk terus menulis,’’ tegas pria kelahiran 27 Maret 1957 itu.

 ?? FRIZAL/JAWA POS ?? DEMI PENERUS: Yatim Subhakti menunjukka­n beberapa koleksi buku miliknya. Dia menulis buku Soerabaia Masa Lalu dan Masa Kini.
FRIZAL/JAWA POS DEMI PENERUS: Yatim Subhakti menunjukka­n beberapa koleksi buku miliknya. Dia menulis buku Soerabaia Masa Lalu dan Masa Kini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia