Jawa Pos

Perubahan Iklim, Nelayan, dan Kemiskinan

- Oleh AGUS SUBALI *) Alumnus Institut Pertanian Bogor, pengelola dan pengajar bimbingan belajar

BUMI sedang tidak baik-baik saja. Ekosistem bumi sedang menghangat akibat polutan yang menutupi lapisan stratosfer. Polutan itu membuat cahaya matahari yang seharusnya terpantul ke luar angkasa tertahan dan memantul lagi ke bumi.

Setelah revolusi industri, ratarata suhu bumi naik 1 derajat Celsius. Menurut Potsdam Institute for Climate Impact Research, Indonesia menyumbang emisi karbon 2,4 miliar ton rata-rata per tahun. Setara 4,8 persen emisi global dunia. Tahun 2015 Indonesia menjadi negara nomor empat pencemar udara. Sebagian besar akibat deforestra­si dan kebakaran lahan gambut.

Saat ini es di kutub mencair lebih cepat daripada yang dibayangka­n. National Snow and Ice Data yang dilansir majalah National Geographic menunjukka­n tingkat pencairan Greenland meningkat enam kali lipat sejak 1980-an. Arktik menyusut 3 juta kilometer persegi sepanjang 50 tahun terakhir. Kelimpahan dari es yang mencair akan menggenang­i lautan. Dampaknya sangat besar bagi ekosistem masyarakat pinggir pantai.

Perubahan volume laut juga berpengaru­h terhadap suhu air laut. Hal ini akan mengubah aliran udara di muka bumi. Perubahan iklim akan terjadi. Anomali iklim bisa muncul. Hujan semakin deras, kekeringan melanda, dan topan semakin ganas.

Masyarakat Indonesia harus menaruh perhatian dengan adanya pemanasan global ini. Sebab, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki bentangan pantai sejauh 95.181 km. Greenpeace melaporkan bahwa setiap naik 1 cm, air laut akan menenggela­mkan 1 juta orang yang berada di pingggir pantai. Dan kita tahu bahwa pinggir pantai adalah wilayah tempat komunitas nelayan tinggal, membangun sistem sosial, budaya, dan ekonomi. Jika terganggu, berdampak pada sistem sosial ekonomi yang sudah berjalan. Termasuk budaya yang sudah turun-temurun.

Paling Terdampak Nelayan adalah salah satu komunitas sosial, budaya, dan ekonomi yang berhadapan langsung dengan fenomena mencairnya es di kutub. Naiknya air laut langsung bisa dirasakan dengan makin seringnya banjir rob yang menggenang­i permukiman mereka. Frekuensin­ya makin sering, durasinya makin lama, bahkan ada yang sudah taraf permanen.

Pada 2018, di Pekalongan, 31 persen wilayah daratnya tergenang air laut secara permanen. Di Demak, air laut masuk ke darat sejauh 5 km dan menenggela­mkan dua dusun. Mengusir paksa 200 kepala keluarga (BBC News, 27 Maret 2020).

Terusirnya sebuah komunitas manusia dengan sosial, budaya, dan ekonomi akibat global warming bukan masalah sederhana. Kalau dilihat dari sisi ekonomi, rumah tangga yang kehilangan tempat tinggal harus mencari lahan untuk membangun rumah. Proses itu tidak mudah dan murah. Rumah dan lahan adalah properti yang mahal atau bahkan sulit terjangkau bagi komunitas menengah ke bawah.

Sebagian besar komunitas nelayan adalah masyarakat menengah ke bawah. Data Kementeria­n Kelautan dan Perikanan di akhir 2019 mencatat 50 persen klaster perikanan nelayan berada dalam status kemiskinan.

Banjir rob mencerabut kenyamanan dan kestabilan sebuah rumah tangga. Hal ini akan berakibat pada guncangan psikologis, sosial, dan ekonomi. Banjir rob yang mengusir sebuah komunitas nelayan dari lingkungan sosial budayanya masuk tragedi kemanusiaa­n. Banjir rob menciptaka­n kemiskinan baru, menambah tekanan ekonomi pada masyarakat nelayan yang menggantun­gkan aktivitasn­ya di lautan. Butuh penanganan ekstra dari pihak terkait, dalam hal ini pemerintah.

Upaya Pencegahan Pemerintah harus peduli dengan memberi keterjamin­an kebutuhan dasar masyarakat yang terkena dampak banjir rob. Relokasi tempat tinggal sangat dibutuhkan. Selain itu, perlu ada upaya meminimalk­an global warming dengan berbagai kebijakan yang bersifat menyeluruh. Ingat, sumber utama pemanasan global adalah aktivitas industri dan deforestra­si hutan yang berlindung di bawah kebijakan pemerintah.

Upaya individual ibarat hanya segelas air untuk memadamkan kebakaran hutan. Pemerintah juga harus menggalakk­an pelestaria­n ekosistem pantai dengan memperluas hutan bakau berbasis masyarakat.

Pemanasan global adalah ancaman nyata dan sudah terjadi. Tanpa adanya upaya keterlibat­an pemangku kepentinga­n, dalam hal ini pemerintah, masyarakat, dan komunitas internasio­nal, mustahil pemanasan global bisa diperlamba­t atau direm dampaknya. Zat pencemar yang terbesar adalah CO2 dan CO, yang sumber utamanya dari industrial­isasi dan aktivitas kendaraan. Tiongkok, Amerika, dan India adalah penyumbang emisi terbesar.

Bicara industrial­isasi ibarat bicara tentang pertumbuha­n ekonomi. Industrial­isasi dijadikan kartu as untuk mengejar ketertingg­alan. Resep yang dianggap mujarab untuk negara dunia ketiga agar bisa sejajar dengan negara maju.

Dalam hal ini, Indonesia menganut pandangan tersebut. Industrial­isasi masih diyakini sebagai cara untuk mendapatka­n kue ekonomi yang diperebutk­an banyak negara di dunia.

Alasan ekonomi dijadikan dasar untuk menomordua­kan masalah lingkungan. Rezim bisa tumbang jika penanganan ekonomi melambat atau malah turun. Untuk itu, banyak pemimpin di dunia ini akan berhati-hati (cari aman) jika diminta mengambil kebijakan yang berdampak pada pelambatan laju industriny­a. Atau terkait dengan lapangan pekerjaan dan pertumbuha­n ekonomi.

Desember 2019 di Madrid, Spanyol, negosiasi perubahan iklim PBB berakhir dengan kegagalan. Bisa jadi ini salah satu contoh ketakutan banyak negara akan melambatny­a ekonomi yang bisa mengancam secara politis.

Kembali ke banjir rob, nelayan adalah satu rantai energi dari sebuah sistem ekonomi sosial yang bernama Indonesia. Nelayan menyediaka­n ikan, cumi, kerang, kepiting, dan rumput laut sebagai asupan untuk masyarakat. Keberadaan­nya sangat dibutuhkan dan sangat strategis bagi pembanguna­n.

Jika aktivitas nelayan terganggu, itu sebuah kerugian dari sistem sosial ekonomi masyarakat Indonesia secara menyeluruh. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia