Musisi Perlu Daftarkan Karyanya di LMKN
Ada Pusat Data, Lagu Punya Nomor Identitas
JAKARTA, Jawa Pos – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56
Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/ atau Musik melegakan insan musik tanah air. Namun, sejatinya kebijakan soal royalti telah lama ada
Musisi senior Candra Darusman menuturkan, aturan tersebut sekadar pengingat dari pemerintah untuk para pelaku usaha yang belum membayar royalti. Sebab, kebijakan itu berjalan sejak 1991. Namun, implementasinya memang belum maksimal. ”Sebenarnya sudah banyak pengguna musik yang bayar, tapi ada juga yang belum. Nah, PP ini jadi reminder lagi untuk mereka yang belum bayar,” jelas dia melalui sambungan telepon kemarin (7/4).
Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) itu menyatakan, sudah sepantasnya pemilik layanan publik membayar royalti kepada musisi. Seperti halnya mereka membayar listrik, tempat sewa, maupun pegawai. Tak bisa dimungkiri bahwa musik kini menjadi suatu keperluan untuk menarik pengunjung datang.
Regulasi itu, kata dia, menjadi keuntungan bagi kedua pihak. Baik pelaku usaha maupun musisi. Dalam arti, tidak merugikan pelaku usaha dengan adanya biaya yang dibebankan sekalipun di tengah pandemi Covid-19 yang serba tidak menentu ini. ”Nggak ada tuh cerita kafe tutup gara-gara bayar royalti. Kalau menggunakan ya bagi-bagi dong ekonominya ke pencipta lagu. Kalau nggak mau bayar, ya jangan pakai lagu,” tegas Candra.
Dia menjelaskan, terobosan baru dari PP 56/2021 ada di pasal 22. Yaitu, terkait kewajiban pembuatan database dan sistem informasi lagu terpusat. Itu merupakan hal baru di industri musik dunia. Dengan adanya pusat data, lagulagu yang terdaftar bakal memiliki nomor identitas layaknya masyarakat yang punya nomor induk kependudukan (NIK).
Artinya, ada sejumlah keuntungan yang didapat para musisi selain nilai rupiah. ”Nah, jadi ketahuan siapa-siapa penciptanya. Makanya, diharapkan database itu terpadu, tepercaya, satu sumber, dan akurat,” kata dia.
Candra mengimbau kepada semua seniman musik untuk mendaftarkan karyanya di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). ”Kalau nggak dicatat, nggak dapat royalti. Ibaratnya kalau ada bansos, tapi alamatnya nggak ada di daftar, ya luput,” jelasnya.
Lebih dari itu, pria kelahiran Bogor, 63 tahun silam, tersebut juga menyarankan pemerintah segera menerbitkan peraturan khusus di platform digital. Sebab, banyak oknum yang meng-cover lagu tanpa izin penciptanya demi keuntungan pribadi.
Musisi Marcel Siahaan menyatakan perlunya sistem pendataan yang terpusat dan terpadu. ’’Karena kekayaan intelektual bukan hanya hak cipta, tapi ada juga hak paten dan sebagainya,’’ kata Marcel saat live Instagram bersama Pongki Barata.
Dia berharap pemerintah fokus membangun pusat data musik atau lagu tersebut. Dengan begitu, pembagian royalti bisa tepat guna dan sasaran serta sesuai dengan jumlah pemakaian lagunya. ’’Jadi, nggak pakai sistem kira-kira ataupun market share lagi. Kalau ada database, kan nanti nggak akan bisa dilebihin atau dikurangin,’’ papar Marcel.
Sementara itu, pengamat musik Adib Hidayat menyayangkan yang menjadi perhatian lebih pada kewajiban membayar oleh calon pengguna. Padahal, menurut dia, kewajiban itu ada sejak 1982 dan diwujudkan Karya Cipta Indonesia (KCI) sejak 1990-an. Lalu, pada 2014 Kemenkum HAM membentuk Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Adib menjelaskan, LMKN mempunyai kewenangan untuk mengumpulkan royalti lagu atau musik yang digunakan untuk tujuan komersial. Tarifnya ditetapkan oleh keputusan menteri. Lalu, hasil pengumpulan royalti itu didistribusikan kepada para pemilik hak cipta dan pemegang hak terkait.
Hasilnya sudah terlihat. Adib mencontohkan Performers Right Society of Indonesia (Prisindo) telah mendistribusikan royalti tahunan kepada lebih dari 300 musisi dan penyanyi tanah air pada Hari Musik Nasional 9 Maret lalu. Ada juga KCI yang membagikan Rp 4 miliar kepada anggotanya pada 2020. ”Sebaiknya sekarang musisi mendaftarkan di LMK sesuai pilihan masing-masing agar hak ekonomi didapatkan dari diberlakukannya PP 56/2021 ini,” ungkapnya.