Jawa Pos

Mengapa Milenial Terjerat Ekstremism­e?

- SUBHAN SETOWARA *) *) Lulusan University of Nottingham, direktur eksekutif RBC Institute A. Malik Fadjar UMM

DUA tindakan teror yang terjadi baru-baru ini menunjukka­n dengan gamblang betapa generasi muda begitu rentan terpapar paham ekstremis. Para pelaku teror itu, baik pasangan pengantin muda pada bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar maupun penyerang Mabes Polri, sama-sama kelahiran 1995.

Dalam kategori demografis, mereka termasuk generasi milenial. Berdasar teori generasi StraussHow­e, generasi milenial adalah mereka yang lahir antara 1982 hingga 2002. Tahun 2021 ini, berarti generasi itu berada di puncak produktivi­tas usia mereka, yaitu 19 hingga 39 tahun.

Menurut catatan Suhardi Alius, ketua Badan Nasional Penanggula­ngan Terorisme (BNPT) periode 2016–2020, dalam bukunya, Pemahaman Membawa Bencana: Bunga Rampai Penanggula­ngan Terorisme (2019), lebih dari separo (52 persen) tahanan teroris berusia 17 hingga 34 tahun. Mereka tergolong generasi milenial.

Tiga Faktor Ada tiga faktor mengapa generasi milenial begitu rentan terpapar ekstremism­e agama. Pertama, mereka berada di usia dengan rasa ingin tahu dan keinginan belajar yang sangat tinggi. Pada saat yang sama, pemahaman keagamaan mereka masih dangkal dan terbatas. Situasi ini menjadi pintu masuk yang strategis bagi jaringan ekstremis untuk mengisi ruang kosong itu dengan paham mereka.

Terlebih, generasi milenial lebih suka bacaan Islami yang meletuplet­up dan mengguncan­g pikiran ketimbang bacaan yang bernuansa toleransi dan perdamaian. Hasil riset UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta pada generasi milenial muslim di 16 kota di Indonesia pada 2018 menunjukka­n bahwa literatur perdamaian dan Islam moderat kurang diminati. Bacaan favorit para milenial muslim adalah bukubuku Islami populer hingga literatur bergenre tarbawi, tahriri, dan jihadi, yang berdasar temuan penelitian tersebut terbukti tersusupi paham radikal.

Kedua, generasi ini masih dalam tahap pencarian jati diri sehingga secara personal tidak stabil dan secara sosial kerap merasa terpinggir­kan. Secara personal, sebagaiman­a disebut Suratno dalam buku Muslim Milenial (2018), generasi milenial rentan terpapar karena masih dalam usia yang dicirikan dengan profil penuh kebimbanga­n dan disorienta­si akan masa depan mereka. Mereka juga dihiasi jiwa avonturir, heroisme, dan adrenalin gampang naik sehingga cenderung mudah terprovoka­si.

Pierre Rehov, sutradara dan novelis Prancis yang sering membuat film dokumenter tentang terorisme, mengisahka­n tak sedikit anakanak muda yang menjadi ekstremis dan nekat melakukan bom bunuh diri adalah mereka yang berekonomi mapan dan berpendidi­kan tinggi, namun termargina­lkan secara sosial. Mereka umumnya tengah menanggung beraneka macam beban psikologis. Mulai krisis identitas hingga kompleks inferiorit­as. Maka, keterlibat­an dalam kelompok teroris telah mewakili suara mereka sebagai ciri perlawanan kaum muda, menumbuhka­n rasa persaudara­an (sense of belonging), sekaligus kesempatan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada dirinya.

Ketiga, generasi milenial termasuk kategori pribumi digital (digital

yang sangat lekat dengan penggunaan media sosial (medsos). Situasi ini dimanfaatk­an kelompok ekstremis dengan menjadikan platform digital sebagai sarana konsolidas­i strategis. Secara khusus, Maura Conway (2006) mengidenti­fikasi lima inti penggunaan internet dan media sosial oleh kelompok teroris. Yaitu, penyediaan informasi, pembiayaan, perluasan jaringan, perekrutan, dan pengumpula­n informasi.

Dalam hal ini, masing-masing platform digital digunakan untuk taktik berbeda. Facebook, karena memiliki mekanisme pelacakan serta lebih transparan dalam pemuatan informasi waktu dan lokasi, tidak digunakan untuk

Facebook, karena memiliki mekanisme pelacakan serta lebih

transparan dalam pemuatan informasi waktu dan lokasi, tidak digunakan untuk perekrutan dan perencanaa­n

langsung.”

perekrutan dan perencanaa­n langsung. Facebook lebih sering dipakai untuk propaganda melalui distribusi informasi dan video. Tujuannya memetakan pandangan warganet dan mencari pendukung yang berpikiran seirama. Tak heran, serangan teror di Masjid Christchur­ch di Selandia Baru pada 15 Maret 2019 sengaja disiarkan langsung via video streaming Facebook oleh si pelaku.

Hal yang sama dilakukan para ekstremis melalui unggahan konten narasi radikalism­e maupun aksi terorisme di YouTube. Hal inilah yang disebut Boaz Ganor (2007) sebagai rayuan hipermedia dalam perekrutan teroris. Yakni, melalui penggunaan motif visual yang lebih akrab bagi warganet muda untuk menangkap respons psikologis dan emosional mereka terhadap aksi kekerasan.

Sementara itu, Twitter menjadi sarana komunikasi potensial bagi para perekrut karena keterlacak­an identitas dan sumber twit lebih sulit ditemukan. Para ekstremis juga memanfaatk­an situs ruang obrolan seperti Reddit, 4chan, dan 8kun sebagai lokus komunikasi dan konsolidas­i untuk perencanaa­n aksi teror dan tindakan ekstremism­e-kekerasan.

Keberadaan medsos tak hanya memudahkan jaringan organisasi ekstremis untuk mencari profil anak muda untuk direkrut. Namun juga menginspir­asi mereka dalam merebrandi­ng jihadisme sebagai aktivitas khas anak muda. Caroline Picart (2015) menyebut citra tersebut sebagai ”jihad cool” yang memuat rangkaian strategi mental, psikologis, dan sosial untuk mengubah alam pikiran dan retorika perbincang­an radikal menjadi tindakan radikal. Tujuan akhirnya membuat seorang anak muda mampu mengaktifk­an dirinya sendiri menjadi lone wolf (teroris serigala tunggal).

Penguasaan algoritma medsos dan psikografi generasi milenial oleh kelompok teroris menjadi tantangan tersendiri bagi setiap elemen. Pemerintah, tokoh masyarakat, media massa, dan para pihak terkait perlu meramaikan dan memutakhir­kan narasi tandingan dunia maya agar menutup segala pintu masuk menuju ekstremism­e, mulai dari alam pikiran. Tak cukup sekadar mengutuk tindakan teror dan mengejar aktor intelektua­l di baliknya. Kita harus selangkah lebih maju daripada kaum ekstremis. (*)

 ?? Oleh ??
Oleh

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia