Disiplin Prokes Dulu, PTM Kemudian
”SEBAGIAN Sumatera Barat sudah, sebagian Jawa Tengah juga. Kapan Surabaya berani?” Pertanyaan senada beberapa kali saya jumpai. Itu merujuk pada pembelajaran tatap muka (PTM) alias sekolah luring (luar jaringan).
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu biasanya diikuti kalimat-kalimat dengan nada keluhan. Bagi para orang tua, ada yang merasa pengeluaran membengkak lantaran kuota internet. Ada juga yang sudah lelah dan merasa tak mampu mendampingi buah hatinya. ”Bayar mahal-mahal, kita sendiri yang jadi gurunya.”
Pemerintah kota beserta Satuan Tugas Penanganan Covid-19 sejatinya juga tidak pasrah. Bekerja sama dengan sekolah-sekolah, sejak akhir tahun lalu kerap menggelar uji coba PTM. Mulai diskusi menentukan parameter hingga persyaratan yang harus dipenuhi supaya menjamin tidak ada klaster sekolah.
Lalu, angin segar datang dengan kedatangan vaksin Covid-19. Beberapa kelompok masyarakat sudah mendapatkan dua dosis vaksin. Termasuk para tenaga pendidik. Makin dekatlah harapan para orang tua tadi untuk mengirimkan anaknya kembali ke sekolah.
Beberapa daerah di Indonesia bahkan sudah mengabulkan harapan itu. Sekolah tatap muka dengan berbagai syarat. Mulai disiplin protokol kesehatan bagi guru dan siswa, pembatasan kapasitas kelas, sirkulasi udara, hingga daftar panjang syarat-syarat lainnya.
Belakangan, beberapa daerah tereliminasi atau menganulir kebijakan itu. Setelah beberapa waktu berjalan, ada siswa dan guru yang terpapar virus yang sangat mudah menular itu. Langkah darurat sebelum sekolah jadi klaster.
Terlepas dari itu, vaksin memang tetaplah sebuah langkah pencegahan. Sama halnya dengan penerapan prokes. Kedudukannya sejajar
Seperti yang diungkapkan dr Dominicus Husada, kepala Divisi Penyakit Infeksi dan Tropis Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unair. Sebaik-baik vaksin, tidak ada yang ampuh 100 persen. Katakanlah sudah terbentuk kekebalan, belum pasti kebal terhadap infeksi korona. Ditambah, belum ada kepastian perlindungan vaksin tersebut sampai berapa lama setelah satu paket vaksinasi.
”Dari situ bisa dianalogikan rumah Anda kuncinya jadi lebih banyak. Apakah maling bisa masuk? Masih bisa. Tapi, risikonya dikurangi. Maling jadi makin sulit masuk, risikonya lebih kecil,” jelas Dominicus.
Lagi pula, dari warga sekolah, baru tenaga pendidik yang mendapatkan vaksin. Patut diingat, jika PTM digelar, persentase terbesar warga sekolah berada di para siswa. Mereka datang dari mana saja, lalu pulangnya entah ke mana.
Lalu, berdasar kajian dari pakarpakar di Persakmi (Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia) Jatim, yang justru sulit dikendalikan ada di perjalanan mereka pergi pulang.
Untuk urusan prokes, kenyataan di lapangan tak seindah data yang diungkapkan jajaran satgas. Faktanya kasatmata. Lihat saja, berapa banyak tempat keramaian seperti pasar, warung kopi, dan minimarket yang masih menyediakan tempat cuci tangan lengkap dengan sabunnya? Kalaupun tersedia, apakah masih berfungsi? Banyak keran yang tidak teraliri air dan botol sabun kosong atau cuma terisi sabun cair yang amat cair hingga nyaris sulit berbusa.
Peranti-peranti itu seperti hanya sebagai syarat bagi mereka untuk boleh membuka usaha. Layaknya yang disyaratkan satgas. Supaya ekonomi berdenyut.
Contoh lainnya, kampung tangguh yang ramai-ramai diinisiasi di awal pandemi. Setahun lalu, bahkan banyak yang menerapkan lockdown lokal di kampung atau permukiman masing-masing. Tiba-tiba saja sangat mudah ditemukan perkampungan yang menerapkan one gate system. Tambahan lagi, di tiap gerbang itu ada bilik sterilisasi. Atau, setidaknya (lagi-lagi) tempat cuci tangan.
Lihatlah kini. Masih berfungsikah bilik-bilik dan tempattempat cuci tangan itu? Yang paling mudah teridentifikasi, tidak ada lagi penjaga di one gate system itu. Kampung-kampung tangguh (sebagian besar) hanya tersisa spanduk peringatan.
Belum lagi penerapan prokes dalam pergaulan dan kehidupan masyarakat. Disiplin warga tecermin di jalanan. Masker memang sudah menjadi budaya baru. Penjual alat pelindung diri itu mudah ditemui di sisi jalan. Sesuai standar atau tidak, penjajanya kian marak.
Masih mudah ditemui, sudah pakai masker, tapi hanya di dagu. Naik sedikit, hidung masih terbuka.
Lain lagi dengan aspek disiplin prokes lainnya, yaitu jaga jarak dan menghindari kerumunan. Singkat kata, bahkan kegiatan pemkot saja, atau kegiatan yang seharusnya untuk mencegah persebaran korona seperti vaksinasi, tak lepas dari kerumunan.
Kembali ke P T M, guru yang sudah ter proteksi dengan vaksin dan patuh pada pro kes setidaknya mempunyai peluang lebih kecil untuk tertular virus. Siswa yang menerapkan prokes pun punya peluang lebih kecil untuk terpapar Covid-19.
Pendukung berikutnya, tentu kesadaran disiplin prokes masyarakat sekitarnya, pelaku usaha di sekitarnya, hingga bagian masyarakat lainnya yang tentu punya peran sama dalam pencegahan Covid-19. Sebab, mewujudkan PTM hasil kerja bersama. Disiplin prokes dulu, didukung vaksin, PTM terlaksana. (*)