Transformasi Dakwah, dari Konvensional ke Digital
Ceramah keagamaan hingga kajian kitab salaf secara daring marak setahun terakhir. Menjangkau diaspora, ekspatriat, dan milenial yang sibuk mencari nafkah.
PENGAJIAN virtual masih menjadi sesuatu yang jarang tiga hingga empat tahun lalu. Kalau ada, basisnya rekaman yang diunggah di kanal YouTube. Namun, pesatnya perkembangan media sosial (medsos) membuat metode berdakwah mengalami transformasi. Ditambah pandemi Covid-19 yang melarang adanya kerumunan.
Transformasi dakwah modern pun dilirik pendakwah. Live streaming pengajian kini gampang sekali ditemui. Saban minggu, bahkan hari, ada. Di luar tidak bisa berhadaphadapan langsung dengan jamaah, cara baru berdakwah itu justru memberikan sejumlah keuntungan.
Kiai Miftah Maulana Habiburrahman atau dikenal dengan Gus Miftah menuturkan, metodologi dakwah selalu mengikuti pergerakan zaman. Pun, pengemasannya. Ciri khas yang dimiliki dai akan mudah dikenal masyarakat.
Tidak hanya bisa menaikkan popularitas dai, platform medsos membantu dalam penyampaian pesan dari isi ceramah. Misalnya, Gus Miftah yang membuat beragam quotes tentang kehidupan untuk menarik para milenial. ”Makanya, metode dakwah itu selalu berkembang,” ujarnya.
Menurut Gus Miftah, dakwah bisa berhasil jika caranya menyesuaikan dengan yang diharapkan dan dibutuhkan masyakarat. Saat ini ya eranya medsos. Gadget dengan beragam aplikasi medsos selalu dalam genggaman tangan masyarakat.
Di akun medsosnya, kata Gus Miftah, data menunjukkan follower bukan hanya para milenial. Segala usia bisa dijangkau. Gus Miftah pun tidak memberikan batasan dan selalu membuka pengajiannya untuk masyarakat umum. ’’Tidak ada segmentasi saya dalam berdakwah,’’ ucap alumnus UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta itu.
Gus Miftah punya tim khusus terkait medsos. Setiap unggahan selalu dipastikan memiliki nilai dan diterima masyarakat. ’’Jadi, bukan yang penting posting, tapi posting-lah yang penting,’’ tegasnya.
Habib Husein Jafar al Hadar yang dikenal di dunia maya sebagai ’’imam pemuda tersesat” juga sudah setahun terakhir melakukan pengajian secara virtual. Tepatnya dengan aplikasi telekonferensi Zoom. Antusiasme dan efektivitas pengajian Zoom, kata dia, tidak kalah dengan tatap muka. Bahkan, dalam beberapa hal justru lebih efektif karena beberapa keunggulan.
Misalnya, pengajian bisa diakses dari mana saja. Mereka yang memiliki aktivitas padat tetap bisa mengaji tanpa mengorbankan rutinitas mencari nafkah. Fleksibilitas semacam itu sangat dibutuhkan.
Dalam pengajian virtual, dia juga bisa menyampaikan slide materi-materi agama sehingga lebih mudah dipahami. Keunggulan lainnya, pengajian itu bisa direkam dan diputar berulang-ulang. ’’Dulu, awal-awal kurang efektif dan antusiasmenya kurang lantaran masih terkendala hal-hal teknis di masa-masa awal pandemi,” tuturnya.
Husein mengatakan, sejak awal dirinya menyampaikan gagasan bahwa di antara hikmah pandemi adalah edukasi dan kreativitas bagi kalangan moderat untuk masuk ke digital. Memanfaatkan internet dan medsos daripada menjauhinya. ”Karena kalangan ini masih cenderung konvensional dan tradisional dalam dakwahnya sehingga kurang merambah ranah digital,” katanya.
Sekitar dua tahun lalu, sudah ada inisiasi pengajian
online. Namun, jumlahnya masih terbatas. ’’Di antara yang paling populer, pengajian online Gus Ulil Abshar Abdalla, mengaji Ihya Ulumuddin,” katanya.
Kala itu, menurut dia, ngaji online masih semacam mubah. Lalu, menjadi sunah. Orang mulai sadar, tapi belum banyak memasukinya. Kemudian, setelah ada pandemi, seolah hukumnya wajib karena dipaksa oleh keadaan. ”Dan sebenarnya saat ini misi moderasi agama hukumnya sudah wajib karena minimal satu dekade yang lalu kelompokkelompok nonmoderat sudah membanjiri medsos dengan dakwah-dakwah mereka,” tuturnya.
Itu terlihat dari sepuluh
website teratas dalam konteks keislaman kelompok moderat yang
menurut riset hanya menyumbang sekitar tiga. ’’Itu pun dari kalangan NU yang beberapa tahun terakhir sangat getol mengembangkan dakwah digital,” katanya. Husein yakin, jika kaum moderat hadir, pasti akan mendapatkan sambutan yang bagus.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni’am Sholeh juga menggeser kegiatan ceramahnya dari konvensional ke digital sejak pandemi melanda Indonesia. Semula, kegiatan pengajian di platform digital dilakukan untuk santri-santri Al-Nahdlah Islamic Boarding School yang dia pimpin. Sebab, para muridnya belajar dari rumah masing-masing. ’’Seiring dengan kemudahan akses, akhirnya banyak masyarakat nonsantri yang ikut bergabung dan menjadi jamaah tetap,’’ jelas Asrorun.
Ada sejumlah kitab yang dia ulas dalam pengajian virtualnya. Misalnya, kitab Nashaihul Ibad, Kifayatul Ahyar, dan Arba’in Nawawi. Asrorun mengatakan, kegiatan mengaji online itu dilakukan sekali dalam sepekan.
Rencananya, Ramadan ini kegiatan ngaji virtual melalui aplikasi Zoom dan sejenisnya dijalankan setiap hari. Durasinya maksimal satu jam.
Menurut Asrorun, dari sisi teknis, ceramah virtual dengan memanfaatkan teknologi digital lebih fleksibel. Dalam metode konvensional, kegiatan ceramah sering terbentur dengan aktivitas dinas karena harus ada kehadiran fisik. Misalnya jika ada tugas atau dinas luar atau sejenisnya. ’’Otomatis ngajinya prei (libur, Red),’’ kata mantan ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu.
Sebaliknya, dengan memanfaatkan media virtual, di mana pun dan kapan pun bisa menjalankan ceramah. Dengan begitu, bisa menjaga keistiqamahan atau keajekan pengajian. Peserta pengajian pun bisa semakin luas.
Interaksi dengan jamaah juga tidak menjadi masalah. Sebab, jamaah bisa menyampaikan pertanyaan untuk pendalaman melalui fitur chat atau langsung bertanya.
Asrorun menjelaskan sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam mengikuti kegiatan pengajian virtual. Menurut dia, media sosial atau dunia virtual merupakan free
market of ideas. Selain itu, free market of religious knowledge. Siapa pun bisa menyampaikan ceramah keagamaan melalui virtual. Isinya bisa sangat beragam. Contohnya, ada yang moderat, ekstrem kanan atau konservatif, hingga ekstrem kiri atau liberal.
’’Seiring dengan kemudahan akses, akhirnya banyak masyarakat nonsantri yang ikut bergabung dan menjadi jamaah tetap.’’
ASRORUN NI’AM SHOLEH
Asrorun menjelaskan, dengan karakteristik media virtual yang bebas untuk siapa pun, umat perlu membekali diri untuk bisa mengidentifikasi guru yang otoritatif di urusan keagamaan. Supaya tidak terjadi miss leading dalam belajar agama.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menuturkan, Kemenag sudah melakukan program penguatan kompetensi penceramah agama. ’’Total, sudah ada 8.200 penceramah,’’ katanya.
Penceramah peserta program penguatan kompetensi itu juga mendapatkan materi dakwah di media sosial. Mereka dibekali keterampilan untuk menyiapkan konten dakwah digital. Upaya itu sekaligus menjadi kontranarasi terhadap kelompok intoleran yang juga memanfaatkan media digital untuk menyebarkan pemahamannya.
Pada prinsipnya, Kemenag terus mengampanyekan moderasi beragama. Para penceramah yang menggunakan media konvensional maupun digital diharapkan ikut memberikan pemahaman keagamaan yang moderat.