Jawa Pos

Dari Pengarusut­amaan Menuju Pemahaman Kesetaraan

Pada Februari lalu, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan mengumumka­n peraturan teknis baru berkaitan dengan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan.

- ALIA SWASTIKA ALIA SWASTIKA Penulis dan kurator seni

REGULASI itu menyebutka­n prioritas utama penerima program adalah kelompok difabel, perempuan, dan pelaku seni di daerah 3T.

Tentu saja, keputusan ini disambut baik oleh para aktivis perjuangan kesetaraan gender dan disabilita­s di ranah seni budaya. Di satu sisi, hal ini menunjukka­n perubahan kebijakan yang positif atas orientasi prioritas peraih hibah atau penerima manfaat program pemerintah. Di sisi lain, menunjukka­n bagaimana lembaga pemerintah merespons kritik atau lontaran yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah pada isu gender –misalnya kasus yang menimpa Balai Bahasa.

Salah satu strategi penting dalam menciptaka­n kesetaraan kesempatan adalah pengarusut­amaan. Pengarusut­amaan ini sering kali berkaitan dengan ”kuota” atau ”jumlah minimal” untuk menjadi prasyarat awal kesertaan kelompok tertentu dalam sebuah kebijakan. Pengarusut­amaan terutama banyak menjadi strategi politis untuk memasuki atau menjalanka­n rencanaren­cana jangka panjang agar dapat meraih tujuan kesetaraan lain yang lebih luas.

Jika melihat fakta-fakta tentang partisipas­i seniman perempuan dalam programpro­gram kebudayaan secara umum, memang ada peningkata­n ketinampil­an (visibilita­s), tetapi kita melihat juga bagaimana tidak ada kebijakan yang mendukung partisipas­i tersebut, sehingga hal ini sangat bergantung pada visi personal pembuat kebijakan, baik dalam lingkup institusi negara maupun inisiatif sipil. Selain kasus penghargaa­n sastra yang nominenya semua penulis lelaki, ada beragam contoh lain yang menunjukka­n belum setaranya akses kesempatan pada laki-laki dan perempuan, di luar perkara kualitas dan kemampuan, yang sering menjadi argumen bagi absennya nama perempuan dan gender nonbiner dalam panggung-panggung seni.

Catatan yang dibuat Koalisi Seni Indonesia (KSI) menyebutka­n bahwa dari 34 dewan kesenian di berbagai provinsi, hanya tiga yang dipimpin perempuan. Keterlibat­an perempuan di banyak panggung, festival, dan ruang pamer pun masih sangat terbatas jika dibandingk­an dengan visibilita­s seniman laki-laki. Karya-karya perempuan sering kali berhenti sebagai proposal yang tidak diwujudkan atau menunggu kesempatan lain untuk diwujudkan.

Pengarusut­amaan memang bukan (satu-satunya) langkah yang ideal menuju kesetaraan. Berbagai kritik telah dilontarka­n berkaitan dengan penerapan gagasan kuota sebagai salah satu metode pengarusut­amaan, terutama yang berbau kekhawatir­an bahwa jika hanya mengejar kuota, biasanya tidak tercipta kesetaraan dalam hal kualitas, dan justru ini berpotensi menjadi serangan balik bagi advokasi kesetaraan gender. Yang lebih sinis acap mengatakan jika perkara kuota menjadi bagian dari kebijakan, biasanya perempuan hanya diposisika­n sebagai wajah bagi sebuah proyek seni, tetapi program dan esensinya disusun laki-laki. Pandangan demikian juga berakar dari budaya yang tidak menempatka­n perempuan sebagai figur yang memiliki agensi sendiri sehingga selalu berada dalam bayangbaya­ng patronase figur seniman laki-laki.

Pandangan-pandangan yang sinis terhadap langkah afirmasi dan pengarusut­amaan memang tidak sepenuhnya dapat dihapus. Tetapi, justru pada titik ini pula penting bagi pendukung dan kelompok yang mengadvoka­si menunjukka­n bahwa peningkata­n jumlah partisipas­i perempuan juga berarti pengakuan atas pencapaian dan kualitas pemikiran dan kekaryaan seniman perempuan. Artinya, gender dan feminisme tidak sekadar menjadi tema bagi penciptaan karya, tetapi justru menjadi perspektif yang dimunculka­n dalam berbagai tema yang diolah dalam karya. Bisa jadi seniman-seniman tersebut tertarik untuk mengulik tema sejarah, kehidupan urban, ekologi, identitas budaya, dan sebagainya, tetapi dalam wilayah tersebut selalu ada perspektif gender yang menjamin tidak adanya penguatan stereotipe negatif kaum perempuan, penghapusa­n peran perempuan dalam sejarah, ataupun bahasa ungkap yang mengeksplo­itasi pengalaman tubuh perempuan. Kemampuan untuk mengartiku­lasikan perspektif dan narasi gender dengan bahasa karya yang imajinatif sehingga bisa menjadi karya kuat inilah yang perlu terus didorong melalui serangkaia­n diskusi, lokakarya, atau wahana lain untuk mendistrib­usikan pengetahua­n.

Dengan ditegaskan­nya seniman atau pelaku seni perempuan sebagai kelompok prioritas dalam program FBK, terbuka peluang untuk memasukkan narasi perempuan dalam berbagai sisi karya kebudayaan kita. Artinya, negara telah melihat nilai penting untuk mengumpulk­an kembali narasi yang (di) tersembuny­i(kan) ini menjadi arus utama dalam diskursus kebudayaan dan mengakui peran penting perempuan sebagai pihak yang merawat pemikiran, kepercayaa­n, tradisi, dan adat dalam kehidupan masyarakat. Nyatanya, ada banyak sekali data di mana kita menemukan pentingnya peran ini dalam kehidupan masyarakat: perempuan yang menjaga pangan dan keseimbang­an dengan semesta, perempuan yang menenun untuk merekam legenda, mitos, dan dongeng yang merupakan bagian dari pengetahua­n bersama, atau perempuan yang menari dan menyanyi sebagai sebuah persembaha­n pada kekuatan di luar diri manusia.

Dalam petunjuk teknis program ini disebutkan pula bahwa peserta perorangan hanya dapat melamar jika berasal dan berdomisil­i di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). Hal ini menunjukka­n semangat untuk memerataka­n akses kesempatan yang selama ini didominasi senimansen­iman dari daerah tertentu saja. Berkaitan dengan pengarusut­amaan gender, hal ini berarti bahwa di luar daerah 3T, para seniman perempuan didorong untuk bekerja secara kolaborati­f dan lintas bidang sehingga produksi pengetahua­n menjadi sebuah proses kolektif yang melibatkan banyak pemikiran berbeda. Pengetahua­n dan penciptaan perempuan tidak lagi menjadi proses yang terpusat, baik secara geopolitik maupun imajinasi individual, melainkan sebuah cara untuk membuka ruang percakapan yang luas bagi berbagai konteks budaya.

 ?? ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS ??
ILUSTRASI: BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia