Momen Ramadan-Lebaran Dongkrak Konsumsi
SURVEI indeks keyakinan konsumen Maret 2021 mengalami kenaikan. Walaupun masih di bawah angka 100 (optimistis). Tepatnya di level 93,4
Nah, berbagai stimulus pemerintah membuat harapan ekonomi masih bisa berputar meski ada keputusan larangan mudik Lebaran.
Yang terbaru, pemerintah memberikan subsidi ongkos kirim (ongkir) pembelian barang secara daring pada Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) jelang Lebaran. Namun, tantangannya, subsidi ongkir harus tepat sasaran. Maksudnya, tidak diberikan untuk pembelian barang-barang impor.
Artinya, harus untuk pembelian produk UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Khususnya UMKM di daerah seluruh Indonesia. Sebab, mayoritas perputaran transaksi secara daring hanya terjadi di Jabodetabek atau secara umum di Pulau Jawa. Padahal, biasanya uang tunjangan hari raya (THR) itu mengalir ke daerah yang menjadi tujuan mudik.
Jadi, ketika ditanya konsumsi rumah tangga tumbuh, jawabannya tentu akan lebih baik. Tapi, bagaimana peredaran uangnya? Tentu Jabodetabek akan lebih tinggi dibanding daerah lain.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya Jabodetabek sentris. Karena mulai importir atau penjual barang, kantor pusat platform e-commerce, dan bahkan konsumennya juga ada di Jakarta. Gimana itu?
Di sisi lain, komitmen subsidi ongkir akan memicu UMKM lokal di daerah untuk masuk ke dalam digitalisasi. Mulai pemasaran, logistik, sampai cara mendapatkan modal (teknologi finansial/fintech). Sehingga uangnya bisa mengalir ke daerah. Dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, baru sekitar 13 persen UMKM yang terkoneksi dengan platform digital.
Selain itu, pandemi menjadi momentum bagi para pelaku industri fintech untuk meningkatkan transaksi. E-wallet yang terintegrasi dengan layanan jasa seperti transportasi, pembayaran listrik, pembelian pulsa, atau e-commerce. Saya yakin transaksi pembayaran digital akan naik 30 hingga 40 persen selama Ramadan hingga H+7 Lebaran. Misalnya, pegawai yang tidak bisa mudik tapi terima THR biasanya akan mengirim uangnya menggunakan pembayaran digital.
Soal kebutuhan bahan pokok, beberapa daerah mengalami panen raya. Itu cukup bisa membantu stabilitas harga, khususnya beras. Tapi, banyaknya bencana di beberapa tempat mengharuskan pemda meningkatkan koordinasi dengan pemda lainnya untuk menjaga stabilitas harga bahan pokok. Misalnya, ada daerah terkena bencana yang membutuhkan suplai beras lebih banyak. Maka, bisa mengambil dari daerah yang sedang panen raya atau surplus pasokan berasnya.
Yang mungkin perlu diperhatikan adalah bahan pokok yang sensitif terhadap musim seperti cabai. Juga yang sensitif terhadap impor seperti bawang putih. Sebab, 85 persen kebutuhan bawang putih nasional dari impor. Kalau distribusi telat, harganya bisa naik di pasaran.
Potensi konsumsi yang meningkat, tentu harapannya diikuti kenaikan inflasi. Kisarannya selama Ramadan−Lebaran 0,1 sampai 0,15 persen. Setidaknya secara bulanan masih kecil. Tapi, lebih baik dibanding Maret dengan 0,08 persen.
Untuk mewujudkan itu semua, harus diikuti kecepatan realisasi PEN 2021. Belajar dari PEN 2020, itu agak terlambat dicairkan. Sampai akhir tahun pun tidak penuh 100 persen. Cuma 85 persen. Harapannya, tahun ini bisa 100 persen dan bisa dikebut di semester 1 2021.
Yang paling penting adalah pendataan. Jangan sampai ada penerima ganda. Juga terkait pengawasan, jangan ada korupsi! (*)
Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agas Putra Hartanto