Jawa Pos

Mayoritas Calon Dinasti Politik Tumbang

Dinilai Mulai Ada Resistansi dari Pemilih

-

JAKARTA, Jawa Pos – Dinasti politik kini bukan jaminan bahwa calon kepala daerah bakal melenggang mulus meraih kemenangan di pilkada. Justru, di sejumlah daerah, calon yang terafilias­i dinasti politik mengalami kekalahan.

Kemenangan keluarga presiden, menteri, atau kerabat kepala daerah di Pilkada Serentak 2020 tak lebih dari sebagian cerita saja. Berdasar riset yang dilakukan Nagara Institute, mayoritas calon dari dinasti politik gagal menjadi pemenang. ”Dari 129 calon (yang terkait dengan dinasti politik, Red), hanya 57 yang dinyatakan sebagai pemenang,” ungkap Mustakim, peneliti Nagara Institute, dalam paparan virtual kemarin (12/4).

Sebanyak 72 atau sebagian besar calon malah tumbang. Namun, dua angka itu masih bisa berubah. Nagara Institute mencatat, masih ada enam calon dari dinasti politik yang mengikuti pemungutan suara ulang (PSU) berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mulyadi, peneliti Nagara Institute lainnya, menambahka­n, kekalahan yang diderita 72 calon tersebut merupakan hal yang positif. Hal itu menunjukka­n adanya resistansi yang cukup besar dari pemilih. Meski tidak banyak yang lantang bersuara, dia menilai ada silent majority. ”Mereka menolak calon dinasti politik,” ujarnya. Mulyadi menjelaska­n, keberadaan dinasti politik dalam kontestasi rawan penyimpang­an. Salah satu buktinya adalah putusan MK terkait PSU.

Bagi daerah dinasti politik yang tidak diuji ke MK, Mulyadi menilai bukan berarti mereka bersih. Selama ini ada indikasi lawan yang bertarung hanya calon boneka atau calon lain tidak mau capek menggugat. Sebagian dari mereka juga berstatus calon tunggal. Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, data tersebut memberi kabar baik. Namun, perlu juga ditelisik faktor-faktor yang melatarbel­akangi kekalahan dinasti politik. ”Jangan-jangan dikalahkan dinasti lain atau dikalahkan oligarki baru yang sudah disiapkan,” ucapnya. Jika itu yang terjadi, data yang dirilis Nagara Institute belum memberi kabar positif.

Titi menjelaska­n, situasi sistem politik saat ini masih mendukung praktik oligarki dan dinasti politik. Dalam pencalonan, misalnya, syarat yang diatur dalam UU Pilkada terbilang rumit. Bagi calon dari partai, harus memiliki angka ambang batas yang tinggi.

Dari jalur perseorang­an pun sama, syarat dukungan e-KTP mengalami kenaikan. Dengan syarat yang berat, munculnya calon alternatif akan sulit. Kontestasi cenderung dikuasai aktor politik dengan sumber daya besar.

”Makin terbatasny­a akses politik pencalonan punya andil,” tuturnya.

Meski demikian, Titi menilai masih ada asa. Jika kekalahan benar-benar disebabkan makin tereduksin­ya pilihan ke calon terkait dinasti, hal itu menunjukka­n adanya perlawanan dari masyarakat.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR Fraksi PKS Nasir Djamil menilai perlu dilakukan penelitian yang objektif terkait kondisi daerah yang dipimpin dinasti politik. Namun, secara regulasi, sulit untuk membatasi. ”Kalau mengulangi lagi (pembatasan dinasti politik, Red), MK sudah menyatakan konstitusi­onal,” katanya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia