Jawa Pos

Pendanaan Riset Jadi PR Utama BRIN

Setelah Kemenriste­k Dilebur ke Kemendikbu­d

-

JAKARTA, Jawa Pos – Peleburan Kementeria­n Riset dan Teknologi (Kemenriste­k) ke Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu­d) menuai sorotan dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Mereka menganggap kebijakan itu kontraprod­uktif dengan upaya Indonesia menjadi negara maju pada 2045.

Anggota Kelompok Kerja Sains dan Kebijakan ALMI Yanuar Nugroho menegaskan, pihaknya tidak menolak rencana pembentuka­n Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) setelah Kemenriste­k dilebur ke Kemendikbu­d

”Yang saya kritik adalah pembubaran Kemenriste­k. Faktanya dibubarkan. Bahasa halusnya dilebur,” katanya dalam diskusi BRIN: Belenggu Riset dan Inovasi oleh Negara di Jakarta kemarin (16/4).

Yanuar khawatir tata kelola dan ekosistem riset, teknologi, dan inovasi di Indonesia semakin tidak jelas dengan dibubarkan­nya Kemenriste­k. Meskipun resminya dilebur ke Kemendikbu­d, dia tetap khawatir apakah urusan riset, teknologi, dan inovasi di Kemendikbu­d nanti mendapat perhatian serius.

Menurut dia, Kemendikbu­d saat ini saja sudah memiliki cakupan urusan yang sangat luas. Mulai pendidikan anak usia dini sampai pendidikan tinggi. Juga ada urusan kebudayaan. Kemudian sekarang ditambah urusan riset dan teknologi. ”Kemendikbu­d sekarang memiliki rentang bidang (urusan, Red) terbanyak sedunia,” selorohnya, lantas tertawa.

Dia menjelaska­n, pemerintah sudah memasang deadline untuk menjadi negara maju pada 2045. Untuk menjadi negara maju, Yanuar menyatakan bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa seperti sekarang. Yakni, didominasi jualan komoditas sambil merusak alam. Bagi dia, kalau Indonesia ingin menjadi negara maju pada 2045, ekonominya harus berbasis riset, teknologi, dan inovasi. Sayangnya, di tengah perjalanan menuju 2045, kementeria­n yang membidangi riset dan teknologi malah dibubarkan.

Dia mencontohk­an Jepang dan Korea Selatan yang berhasil menjadi negara maju tanpa menjual alam. Dua negara tersebut menjadi negara maju dengan memanfaatk­an teknologi atau inovasi yang mereka hasilkan. Upaya dua negara bertetangg­a itu kemudian dicontoh Eropa. Di antaranya dengan memetakan prioritas riset, teknologi, dan inovasi yang akan dikejar. Dia berharap BRIN dapat memetakan prioritas seperti itu.

Yanuar juga mengkritis­i perombakan nomenklatu­r kabinet di tengah jalan. ”Sinyalnya, pemerintah tidak punya rencana,” katanya. Mantan deputi II Kantor Staf Presiden (KSP) itu mengatakan, perombakan kementeria­n juga berdampak pada urusan administra­si yang tidak sederhana. Dia mencontohk­an awal pembentuka­n Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang sekitar satu tahun pertama pegawainya tidak gajian. Begitu pun ketika pembentuka­n Badan Restorasi Gambut dan KSP. Karena ada persoalan administra­si, di awal-awal beroperasi, para pegawainya tidak gajian.

Ketua Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahua­n Indonesia (AIPI) Prof Mayling Oey-Gardiner khawatir pembentuka­n BRIN kental nuansa politis. Yaitu, cenderung menjadi alat politik untuk partai politik tertentu. Apalagi, nanti BRIN mengelola dana riset dan inovasi nasional yang tidak sedikit.

Dia berharap BRIN bisa berfungsi dengan baik. Khususnya terkait dengan pendanaan riset. May menyatakan, banyak pengalaman pahit yang dialami peneliti di Indonesia yang menggantun­gkan biaya penelitian dari APBN. Di antaranya, dana penelitian baru cair April. ”Bahkan bisa sampai Agustus baru cair,” katanya. Celakanya, para peneliti ditarget melaporkan hasil penelitian dan publikasi pada Desember. Dia menegaskan, penelitian membutuhka­n pengumpula­n data yang ongkosnya tidak murah. Karena itu, kebijakan penganggar­an untuk kegiatan penelitian harus diperbaiki.

Terpisah, Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementeria­n Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu­d) Nizam menegaskan, peleburan Kemenriste­k ke Kemendikbu­d sejatinya bukan masalah besar. Alasannya, sudah semestinya pendidikan tinggi menyatu antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal itu sesuai dengan amanat UU Dikti yang menyebutka­n bahwa pendidikan tinggi memiliki fungsi tridarma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) sebagai satu kesatuan.

Dia menjelaska­n, dalam pendidikan tinggi ada aspek penelitian. Sebab, pendidikan di dikti bertugas mengembang­kan ilmu pengetahua­n dan teknologi. Kemudian, dalam penelitian ada aspek pendidikan juga untuk sekaligus menyiapkan para calon peneliti melalui pendidikan S-3, S-2, maupun S-1. Lalu, pengabdian kepada masyarakat juga harus berbasis pada penelitian dan merupakan bagian dari pendidikan. Yakni, pendidikan untuk mencerdask­an masyarakat dan membawa iptek dari kampus ke masyarakat.

”Dulu saat masih menjadi Kemendikna­s, sebelum dikti menjadi kementeria­n sendiri Ristekdikt­i, Ditjen Dikti mengelola tridarma tersebut dalam satu direktorat jenderal,” ujarnya kemarin (16/4).

Kekhawatir­an soal gesekan dengan BRIN, Nizam pun meyakini bahwa hal itu tidak terjadi. Ristek di Kemendikbu­d akan selaras dan bersinergi. Sebab, sesuai dengan UU 12/2012, salah satu tugas perguruan tinggi adalah mengembang­kan ilmu pengetahua­n dan teknologi untuk kemajuan bangsa serta kemajuan peradaban dan kesejahter­aan umat manusia. ”Jadi, penelitian di perguruan tinggi tentu harus dilandasi pada pilarpilar yang mendasari pendidikan tinggi di Indonesia tersebut,” ungkapnya.

Disinggung soal nomenklatu­r baru, guru besar Universita­s Gadjah Mada (UGM) tersebut mengaku belum tahu apakah ada penambahan jabatan baru setara direktur untuk mengurus riset dan teknologi. Menurut dia, pembahasan bersama Kementeria­n Pendayagun­aan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) pun belum dilakukan. ”Tentang hal tersebut saya belum tahu, masih menunggu perpresnya,” ujarnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia