PR Pemerintah dalam Manajemen Riset Nasional
PEMERINTAH mengajukan proposal peleburan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ke dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Tidak ada rintangan berarti karena gagasan tersebut sudah mendapat persetujuan DPR dan telah pula dibahas dalam rapat badan musyawarah (bamus).
Rencana peleburan dua kementerian tersebut memiliki dua makna. Pertama, mengembalikan manajemen kegiatan riset ke habitat asli, yaitu perguruan tinggi (PT). Secara kuantitatif, 80 persen kegiatan riset nasional dilakukan PT. Kedua, pemerintah memosisikan riset sebagai core business PT. Tidak hanya pembelajaran bermutu, PT juga memiliki SDM unggul dalam melaksanakan riset dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan formula tridarma PT.
Pengembalian urusan manajemen riset nasional ke Kemendikbud sejatinya memberi PR baik bagi Kemendikbud maupun presiden sebagai kepala pemerintahan. Selama ini, manajemen kegiatan riset tampak absurd karena berada di bawah naungan Kemenristek, bukan Kemendikbud. Model struktur pengelolaan ini, selain memengaruhi mutu proses riset, ternyata berdampak pada social impact dan daya guna riset yang melemah.
Ada anggapan bahwa riset saat ini hanya budget wasting serta tak memiliki keterkaitan (link and
dengan dunia industri. Hilirisasi hasil riset cenderung berhenti pada publikasi. Belum memberi nilai tambah berupa manfaat yang secara langsung dapat dinikmati masyarakat.
Hilirisasi hasil riset sangat bermanfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus mendukung dunia industri. Di berbagai negara maju, riset PT secara pragmatis berkontribusi positif sehingga dunia usaha lebih kreatif dan inovatif menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Di Indonesia, interkoneksi program riset PT dengan dunia industri sebagai salah satu bentuk utama hilirisasi baru berada dalam tahap rintisan.
Interkoneksi praktis antara PT dan industri ternyata tak semudah membalik telapak tangan. PT dan dunia industri acap berjalan terpisah dan sulit mencapai titik temu. Untuk itu, Kemendikbud harus mampu menyusun mekanisme efektif dalam menggerakkan peneliti agar selalu proaktif berkolaborasi dengan masyarakat industri. Selanjutnya, PT harus bersedia memfasilitasi para peneliti berupa kemudahan dengan aturan yang lebih fleksibel.
Faktor perbedaan visi peneliti dan pengguna juga menghambat penerapan hasil riset. Para peneliti umumnya bersandar pada kaidah manfaat teoretis untuk pengembangan ilmu. Sementara itu, pengguna berkepentingan praktis terkait dengan efisiensi dan keuntungan. Tugas Kemendikbud nanti bertambah, yakni menyelesaikan perbedaan pandangan sehingga dapat menciptakan kebersamaan visi antar-stakeholders.
Pemerintah sebagai regulator ternyata juga menjadi hambatan membumikan hasil riset. Misalnya, ada beberapa hasil riset bidang kesehatan yang sebetulnya sangat bermanfaat, namun terjegal karena kebijakan pemerintah cenderung pro-barang impor. Fenomena ini jelas mengakibatkan peneliti sangat frustrasi. Harus ada virtue dalam setiap kebijakan untuk lebih menghargai karya anak bangsa.
Kewaspadaan perlu tetap dijaga karena peleburan dua kementerian berpeluang mengakibatkan penyusunan kebijakan riset oleh Kemendikbud bakal tersisih. Ini akibat terlalu banyak isu di bidang pendidikan dan kebudayaan yang belum mendapat solusi tuntas. Pun, ada masalah klasik dalam tubuh birokrasi yang sampai saat ini terjadi, yaitu tumpang-tindih fungsi dan kerumitan koordinasi antarlembaga.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang selama ini berada di bawah Kemenristek akan menjadi lembaga mandiri sehingga harus diajak aktif merumuskan kebijakan.
Koordinasi juga perlu melibatkan badan penelitian dan pengembangan daerah (balitbangda) di setiap provinsi atau kabupaten/kota atau lembaga sejenis lainnya agar ada sinkronisasi program. Integrasi berbagai institusi riset ini diharapkan membentuk konfigurasi manajemen riset yang lebih efektif.
Beban Kemendikbud yang nanti menjadi Kemendikbud-Ristek jelas bertambah. Selain riset, harus fokus masalah pendidikan, mulai tingkat dasar hingga tinggi. Sementara terdapat banyak masalah dalam pendidikan dasar dan menengah yang belum terselesaikan, Kemendikbud harus pula mampu menangani berbagai masalah pendidikan tinggi serta membumikan hasil riset agar lebih bermanfaat.
Selain itu, Presiden Joko Widodo sebagai pemegang hak prerogatif memiliki PR menentukan figur tepat sebagai menteri. Pilihannya hanya dua, mempertahankan Nadiem Makarim atau menggantinya. Sejauh ini, Mendikbud giat mempromosikan program Merdeka Belajar sebagai mainstream kebijakan pendidikan nasional. Presiden tentu memiliki kriteria sosok ideal dan tepat sebagai Mendikbud-Ristek.
Selain berintegritas, MendikbudRistek nanti diharapkan mampu membuat peta jalan agar mayoritas hasil riset dapat dimanfaatkan masyarakat industri. Jangan terjadi lagi hasil riset berhenti pada satu titik publikasi sekadar untuk kenaikan pangkat dan jabatan peneliti, namun tidak bermanfaat bagi masyarakat luas.
PR lainnya terkait dengan komitmen pemerintah mendukung peningkatan anggaran riset. Sejauh ini, alokasi anggaran riset nasional hanya 0,25 persen dari gross domestic product (GDP). Angka ini jauh di bawah negara lain. Jika dibandingkan dengan Singapura, misalnya, anggaran riset sudah mencapai lebih dari 1 persen/ GDP. Sementara itu, Jepang lebih tinggi lagi, yaitu 3,28 persen/GDP.
Selain anggaran, penciptaan iklim dan ekosistem riset nasional yang sehat harus diakomodasi dalam setiap kebijakan dan tata kelola riset nasional yang memihak kelancaran tugas peneliti menghasilkan riset inovatif. Pemerintah diharapkan konsisten mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek). Khususnya dalam bentuk dukungan anggaran, sarana, dan prasarana yang memadai disertai pengembangan skema riset relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Urusan riset hendaknya dipandang secara objektif dan bijaksana. Selain dari sisi akademik, riset harus dimaknai sebagai strategi mengamankan kepentingan nasional. Masalah kelembagaan hendaknya tidak menyisakan PR lebih berat karena memang pendidikan dan riset sesungguhnya bukan merupakan urusan sederhana. (*)
*) Wakil dekan bidang akademik FISIP Unair & pengurus MUI Jawa Timur