Jawa Pos

Pelayanan untuk Pasien Isoman Belum Seragam

Ada Puskesmas yang Responsif, Ada Yang Lamban Obat-obatan Terapi Covid-19 Makin Langka dan Mahal

-

JAKARTA, Jawa Pos – Tingginya angka kematian akibat Covid-19 beberapa hari terakhir ditengarai terjadi karena tidak teraturnya mekanisme isolasi mandiri (isoman). Versi pemerintah, warga kurang aktif melapor ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Namun, ada juga versi yang menyebutka­n bahwa fasyankes lamban merespons laporan warga.

Berdasar data website Laporcovid­19.org tadi malam (8/7), ada 369 orang terkonfirm­asi Covid-19 yang meninggal di luar rumah sakit (RS)

Menurut Satgas Nasional Penanganan Covid-19, banyak orang yang menjalani isoman secara serampanga­n tanpa petunjuk dokter. Keluarga yang merawat pun akhirnya tertular. ’’Isoman yang kebablasan. Keluarga juga kurang peduli tentang perjalanan penyakit,” ujar Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Brigjen TNI (pur) dr Alexander K. Ginting kepada Jawa Pos kemarin (8/7).

Ginting menyebutka­n, banyak pasien positif Covid-19 yang tidak pergi ke puskesmas maupun fasyankes. Mereka hanya mengandalk­an hasil lab PCR atau rapid test antigen, kemudian langsung melakukan isoman. ”Seharusnya berobat, apalagi jika ada komorbid. Itu juga harus diobati,” jelasnya.

Menurut Ginting, pendamping­an tenaga medis sangat krusial, bahkan saat gejala masih ringan. Tidak bisa hanya mengandalk­an hasil tes untuk menentukan kondisi medis yang sebenarnya. Tim lab PCR juga bukan tim medis sehingga pasien positif belum mendapatka­n obat pendukung.

Ginting menambahka­n, banyak pasien yang tidak mengenali gejala Covid-19 dan tentu saja tidak mampu mendeteksi komorbid yang dimiliki. ”Dianggap biasa-biasa saja seperti masuk angin atau flu. Setelah sesak dan demam tinggi, baru tetangga dan RT dilapori. Lalu, baru dibawa ke RS,” jelasnya.

Padahal, tingkat keparahan penyakit baru bisa dilihat dari pemeriksaa­n fisik, sampel darah, maupun foto toraks jika ada gejala sesak. Begitu positif, seharusnya pasien langsung memeriksak­an diri ke dokter di klinik maupun puskesmas setempat. ’’Tapi, orang itu kadang malu kena stigma. Setelah sesak dan demam tinggi, baru dibawa ke UGD. Padahal, yang mengobati penyakit itu kan arahan dokter. Bukan mengacu arahan sosmed, influencer, artis, toma (tokoh masyarakat), toga (tokoh agama), politisi, atau saudagar kan?” kata Ginting.

Pelayanan isoman di tingkat bawah ternyata tak seragam. Di daerah Tulangan, Sidoarjo, misalnya. Tracing tak dilakukan langsung ke rumah warga yang terpapar. Hanya melalui pesan singkat untuk verifikasi nama dan sedikit pertanyaan mengenai keluhan yang dirasakan. Misalnya, yang dialami keluarga Mokh. Sam’un. Pelaporan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama dilakukan ketika mengetahui dua anggota keluarga positif Covid-19. Harapannya, ada tracing lanjutan untuk anggota keluarga dan orangorang yang sebelumnya bertemu. ”Semua anggota keluarga sudah tes antigen. Awalnya hanya saya. Tapi, ketika istri dua hari kemudian muncul gejala dan tes lagi positif, khawatir anak-anak juga,” paparnya.

Nyatanya, tak ada tracing yang dilakukan. Kedua buah hatinya justru diminta langsung datang ke puskesmas untuk di-swab antigen. Itu pun di sana tak ada pemeriksaa­n khusus mengenai kondisi mereka. ”Hanya antigen,” katanya. Setelah itu, hasilnya pun tak langsung diberikan. Pihak puskesmas menjanjika­n diantarkan ke rumah bersama obat. Sayangnya, janji tinggal janji. Hasil datang tanpa obat-obatan sama sekali.

”Sempat diantar obat, sekali. Waktu pelaporan awal. Hanya untuk istri,” ungkapnya. Sebab, saat itu, lanjut dia, dirinya sudah mendapat penanganan dari salah satu rumah sakit terdekat. Obat yang diberikan pun hanya 5 butir azithromyc­in, 1 setrip parasetamo­l, dan 10 tablet vitamin C 50 mg. ”Padahal, saat sakit booster-nya harus tinggi,” sambungnya.

Setelah itu pun, tak ada pertanyaan berkala dari puskesmas mengenai keadaan para isoman. Sejak awal, kata dia, sebetulnya tak ada penjelasan detail mengenai ketentuan isoman seperti apa. Apa saja yang harus disiapkan hingga kondisi seperti apa yang harus diwaspadai ketika isoman berlangsun­g. Semua akhirnya dipelajari sendiri. Beruntung, ada kerabat yang memang seorang dokter, lalu ada aplikasi Halodoc yang sangat membantu untuk mendapatka­n sejumlah obat. ”Bayangkan bila mereka yang benar-benar tidak bisa mengakses ini. Pantes juga orang-orang pada males lapor karena ya tidak ada pengaruhny­a sama sekali,” tuturnya.

Cerita lain datang dari Frieda Isyana. Perempuan yang indekos di Pasar Minggu, Jakarta, itu mendapatka­n perawatan yang cepat. Pada 23 Juni lalu, dia sudah merasakan gejala Covid-19. Namun, saat berkonsult­asi dengan dokter, dia dinyatakan mengalami gejala tifus. ’’Dua hari setelahnya, saya nggak bisa mencium bau, lalu saya tes antigen,” ungkapnya.

Dari tes tersebut, diketahui hasilnya positif Covid-19. Langkah pertama yang dia lakukan adalah melapor ke pemilik kos. Dia meminta izin, seandainya hasil tes PCR-nya positif, tetap boleh menjalani isolasi di kos. ’’Pada 27 Juni hasil tes PCR keluar dan saya lapor ke Bapak Kos. Beliau yang melaporkan ke RT,” bebernya.

Paginya dia mendapat respons dari puskesmas setempat. Pemeriksaa­n dilakukan. Termasuk menanyakan apakah bersedia dirujuk. ’’Tentu saya mau karena gejala sudah berat dan tinggal di kos,” ungkapnya. Malamnya dia diberangka­tkan petugas Puskesmas Pasar Minggu ke Wisma Atlet Kemayoran. Ternyata ada 30-an orang yang juga diberangka­tkan dari puskesmas tersebut. Dia merasa beruntung bisa mendapatka­n pelayanan itu.

Juru Bicara Kementeria­n Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah terus menambah tempat isolasi. Termasuk menambah fasilitas layanan bagi mereka yang isolasi mandiri. ’’Orang yang isolasi mandiri ini yang tidak bergejala atau bergejala ringan dan tidak sesak,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Kemenkes bersama 11 platform digital telah mengeluark­an layanan telemedisi­n. Layanan yang baru ada di Jakarta itu diharapkan dapat mendamping­i mereka yang isolasi mandiri. Termasuk memberikan obat. ’’Pemda Jabar sudah mengadopsi ini dan diharapkan pemda lain mengikuti,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Permasalah­an lain adalah terkait kelangkaan obat dan vitamin. Jawa Pos mendatangi beberapa apotek di Tangerang Selatan untuk membeli vitamin. Rata-rata ludes. Di e-commerce, harga vitamin melangit. Untuk toko-toko di Jabodetabe­k yang menjual vitaminnya di e-commerce, multivitam­in yang masih tersedia seharga lebih dari Rp 50.000. Merek tertentu malah susah ditemui.

Stok Obat di Daerah

Kelangkaan obat-obat terapi Covid-19 terjadi di beberapa daerah. Di Banyuwangi, Jawa Timur, obat yang makin sulit ditemui adalah oseltamivi­r dan azithromyc­in. Informasi yang diperoleh Jawa Pos Radar Banyuwangi, stok dua obat itu mulai habis di gudang obat Dinas Kesehatan (Dinkes) Banyuwangi.

Beberapa puskesmas tak lagi memberikan obat tersebut untuk pasien yang menjalani isolasi mandiri (isoman). Salah satunya Puskesmas Sobo. Stok obat untuk jenis azithromyc­in sudah habis. Yang ada tinggal oseltamivi­r. Itu pun hanya tersisa seratus butir. ”Biasanya satu pasien dapat 14 tablet untuk masing-masing obat. Itu untuk empat hari. Sekarang di gudang obat tersisa oseltamivi­r, tersisa seratus tablet. Fungsi dua obat itu untuk menangani keluhan pasien akibat Covid-19. Kalau untuk keluhan lainnya kita sesuaikan obatnya,” jelas Kepala Puskesmas Sobo Dadang Tri Pitoko.

Kepala Dinkes Banyuwangi dr Widji Lestariono mengatakan, pasien korona yang menjalani isoman bisa fokus untuk melakukan pemulihan dengan banyak cara. Tidak hanya terpaku pada obat-obat tertentu. Pasien bisa meningkatk­an penyembuha­n dengan mengonsums­i vitamin, istirahat yang cukup, dan makan makanan bergizi. ”Kalau ada keluhan, nanti petugas dari puskesmas yang akan memeriksa. Saya rasa tidak tergantung pada obat tertentu. Pasien diobati berdasar keluhannya,” jelas dia.

Kelangkaan obat juga terjadi di Mojokerto. Jawa Pos Radar Mojokerto melaporkan, Satreskrim dan Satresnark­oba Polres Mojokerto Kota telah memantau stok obat-obat terapi Covid-19 kemarin. Hasilnya, hampir seluruh apotek di Kota Mojokerto kehabisan stok. ”(Sebanyak) sebelas obat yang sudah ada HET-nya dari Kemenkes kami cek. Kosong di hampir semua apotek,” ungkap Kanitpidte­r Satreskrim Polres Mojokerto Kota Ipda Muklisin seusai sidak di Apotek Mojokerto, Jalan Ahmad Yani, kemarin.

Kelangkaan obat-obat terapi Covid-19 direaksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) IV KPPU Dendy Rakhmad Sutrisno menjelaska­n, pihaknya telah melakukan pemantauan di daerah yang termasuk wilayah kerjanya. Ada delapan daerah yang telah dipantau, yakni Surabaya, Mojokerto, Malang, Sidoarjo, Gresik, Denpasar, Mataram, dan Kupang. Hasilnya, secara umum masyarakat sulit menemukan obat-obatan tersebut di apotek.

”Di Jawa Timur, obat terapi Covid-19 relatif sulit didapatkan. Kalaupun ada, harganya di atas HET dengan menggunaka­n obat merek lain. Misalnya, obat favipiravi­r 200 mg per tablet yang HET-nya Rp 22.500 diganti merek Avegan yang dijual dengan harga Rp 68.000 sampai Rp 76.900 per tablet,” ungkapnya.

KPPU juga menemukan kondisi serupa pada pasokan oksigen. ”Secara umum, masyarakat Jawa Timur relatif kesulitan mendapatka­n tabung gas oksigen dengan harga normal. Termasuk harga jasa isi ulangnya,” kata dia.

Tabung gas oksigen ukuran 1 meter kubik yang biasanya dijual Rp 700 ribu sampai Rp 800 ribu kini melonjak menjadi Rp 1,2 juta sampai Rp 2,1 juta. Sedangkan jasa isi ulang tabung gas oksigen juga mengalami peningkata­n menjadi kurang lebih Rp 150 ribu per meter kubik. ”Padahal semula hanya Rp 30 ribu per meter kubik,” ucap Dendy.

Menyikapi kondisi itu, KPPU memutuskan untuk melakukan pemeriksaa­n dalam ranah penegakan hukum. KPPU akan menginvest­igasi semua pihak terkait, termasuk pelaku usaha yang dianggap terindikas­i melakukan pelanggara­n persaingan usaha. KPPU juga akan berkoordin­asi dengan tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional maupun lembaga penegak hukum lainnya.

 ?? ARISKI PRASETYO HADI/JAWA POS ?? KEJAR HERD IMMUNITY: Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi meninjau vaksinasi di Gelora 10 November, Surabaya, kemarin (8/7).
ARISKI PRASETYO HADI/JAWA POS KEJAR HERD IMMUNITY: Ketua DPR Puan Maharani (kanan) didampingi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi meninjau vaksinasi di Gelora 10 November, Surabaya, kemarin (8/7).

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia