Jawa Pos

Absennya ”Aturan Main” di Kebijakan PPKM Darurat

- Oleh AKH. MUZAKKI *) *) Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya, Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur

KUTIPAN di atas adalah peringatan seorang filsuf kenamaan abad ke-20 Ludwig Wittgenste­in dalam karya fenomenaln­ya, Philosophi­cal Investigat­ion (1958:31). ”Jangan dipikir, tapi lihat!” Begitu nasihatnya jika diterjemah­kan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam argumennya, Wittgenste­in mengingatk­an bahwa sesuatu memiliki kemiripan dan/atau keserupaan dengan yang lain meskipun pada saat yang sama ketidakser­upaan juga muncul. Bergantung pada aturan main yang mengikat sesuatu itu dari lainnya.

Peringatan Wittgenste­in ini lalu melahirkan konsep language game (permainan bahasa) yang menunjuk ke relasi antara bahasa dan tindakan. Dalam pandangann­ya, sebuah kata atau bahkan kalimat memiliki makna hanya sebagai akibat dari ”aturan” dari ”permainan” yang dimainkan, bergantung pada konteksnya. Dia memberi contoh ucapan ”Air!” bisa berarti perintah, jawaban atas pertanyaan, atau bentuk komunikasi lainnya, bergantung aturan permainan yang disepakati antara petutur dan lawan tutur sesuai dengan konteks ujarannya.

Saya teringat teori Wittgenste­in di atas saat mengikuti hiruk pikuk yang menyertai pelaksanaa­n aturan kebijakan pemberlaku­an pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dan respons masyarakat terhadapny­a. Seperti dijelaskan Presiden Joko Widodo dalam siaran live YouTube Sekretaria­t Presiden (1/7/2021), PPKM darurat itu berujung pada penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan pembolehan sejumlah yang lain untuk tetap beroperasi.

Salah satu yang krusial terkait dengan penutupan tempat ibadah seperti masjid, musala, gereja, pura, wihara, dan kelenteng untuk sementara waktu selama pelaksanaa­n PPKM darurat. Sejumlah tokoh agama merespons aturan itu secara berbeda-beda, mulai mengerti lalu mematuhi hingga mengkritik keras dan bahkan menolaknya.

Publik pun bingung harus bagaimana, terutama saat menyimak resistansi sejumlah tokoh agama terhadap penutupan tempat ibadah, sementara aturan PPKM darurat justru menghendak­i penutupan sementara.

Saya menerima pesan WhatsApp dari seorang teman di Surabaya sebagai berikut: ”Apa di masa PPKM darurat masjid masih diperboleh­kan buka, karena terjadi pro dan kontra di lapangan antara ketentuan PPKM darurat dan berita tersebut…kami sebagai satgas covid di tingkat RW menjadi bingung juga menyikapin­ya.”

Apa yang dirasakan seorang rekan di atas sejatinya juga dialami lainnya. Ibarat gunung es, yang muncul di permukaan itu hanya sebagian kecil dari gugusan besar di bawahnya. Karena itu, kegelisaha­n di tengah masyarakat hanya konsekuens­i lanjutan dari menyeruakn­ya pro dan kontra terhadap aturan penutupan sejumlah kegiatan masyarakat seperti direpresen­tasikan oleh kasus tempat ibadah yang dimaksud.

Meminjam perspektif language game milik Wittgenste­in di atas, kontrovers­i yang mengiringi kebijakan penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan pembolehan sejumlah yang lain berangkat dari tidak ketemunya ”aturan main” yang mengikat bahasa komunikasi kebijakan PPKM darurat dan tindakan pelaksanaa­n penutupan tempat ibadah (sebagai contoh).

Titik masalahnya terletak pada dua konsep utama yang mengikat antara pengambil kebijakan (baca: pemerintah) dan masyarakat. Yakni, konsep esensial dan kritikal. Pemerintah menjelaska­n dalam regulasi kebijakann­ya bahwa konsep esensial bisa direpresen­tasikan ke dalam sektor kegiatan yang meliputi keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina, serta industri orientasi ekspor.

Sedangkan konsep kritikal oleh pemerintah diberi keterangan dalam perwujudan kegiatan masyarakat yang mencakup energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transporta­si, industri makanan, minuman, dan penunjangn­ya, petrokimia, semen, serta objek vital nasional. Termasuk dalam cakupan kritikal ini adalah penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.

Terhadap kedua konsep esensial dan kritikal di atas, pemerintah memperbole­hkan kegiatan masyarakat yang masuk ke dalam kategori keduanya tetap beroperasi dengan syarat. Sektor esensial tetap buka melalui kegiatan work from office (WFO) maksimal 50 persen dan sektor kritikal bisa 100 persen. Tentu, keduanya dengan protokol kesehatan ketat.

Sejumlah masyarakat tampak memandang tempat ibadah bukan hanya masuk kategori esensial, melainkan juga kritikal. Itu karena bagi mereka, tempat ibadah adalah kebutuhan dasar hidup yang tak bisa dihindarka­n. Dan karena itu, menutup, dalam pandangan mereka, berarti menjauhkan mereka dari kebutuhan dasar hidup.

Adanya kontrovers­i hingga resistansi di lapangan terhadap penutupan sementara tempat ibadah menunjukka­n terjadinya kesenjanga­n basis kognitif antara pemerintah dan sejumlah warga. Terdapat ruang yang masih kosong antara pengambil kebijakan dan sejumlah gugus masyarakat dalam bentuk aturan main yang bisa mengikat mereka ke dalam substansi kebijakan PPKM darurat itu.

Sudah begitu, tidak terdapat kepiawaian birokrasi pemerintah dalam mengomunik­asikan kebijakan penutupan dan/atau pembukaan sejumlah kegiatan masyarakat di atas dengan bahasa yang efektif. Akibatnya, aturan main yang dibutuhkan untuk mempertemu­kan pengambil kebijakan dengan masyarakat tak bisa dihadirkan hingga kontrovers­i pun mengemuka.

Para pemangku birokrasi di kementeria­n teknis penting berperan besar. Caranya, memaksimal­kan juru bicara yang terampil dalam mempertemu­kan antara kehendak kebijakan PPKM darurat dan pemahaman-kesadaran masyarakat agar tercipta apa yang oleh Wittgenste­in disebut dengan aturan main kebahasaan yang mengikat dua pemangku kepentinga­n tersebut.

Tentu, basis kultural yang mengerangk­ai sistem keyakinan (belief

masyarakat penting untuk diperhatik­an oleh para pengambil kebijakan dalam pelaksanaa­n PPKM darurat. Itu penting agar aturan main kebahasaan bisa segera tercipta untuk mengikut dan mempertemu­kan struktur kognitif mereka ke dalam maksud kebijakan.

Selama hal itu tidak ketemu, selama itu pula akan muncul kontrovers­i dan bahkan resistansi, termasuk dalam kebijakan penutupan sejumlah kegiatan masyarakat dan pembolehan sejumlah yang lain dalam skema PPKM darurat ini. (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia