Jawa Pos

Bisa kok Kurang Ajar, asal...

Kenapa adik saya bikin kebun hidroponik di balkon rumahnya? Karena ia ingin berkebun, tapi tanah pekarangan­nya kurang luas.

- Oleh EKA KURNIAWAN

KENAPA negaranega­ra maju mulai eksplorasi Mars hingga planet-planet lain? Bisa jadi mereka sudah berpikir jauh bahwa bumi suatu hari nanti kurang mendukung kehidupan manusia.

Ketika beberapa minggu lalu saya menerima rapor anak, saya melihat dua mata pelajaran yang nilainya kurang. Arti kurang di sini adalah ia lebih rendah dari rata-rata nilai pelajaran yang lain. Catatan nilai semacam itu bisa menjadi panduan, mata pelajaran apa yang harus diperbaiki.

Kita bisa memakai kata ”kurang” untuk menjawab banyak soal. Kenapa sepak bola sebuah negeri tidak juga berprestas­i? Bisa karena pemain-pemainnya kurang latihan atau kurang nutrisi. Bisa juga karena kompetisi di negeri itu kurang konsisten. Atau pengurus federasiny­a kurang kompeten.

Kata tersebut juga menjadi penting ketika sesuatu sudah mulai berlebihan. Saat kita merasa berat badan mulai melebihi yang kita inginkan, kita akan mengurangi asupan makanan tertentu. Ketika seseorang berlaku seenaknya hingga merampas hak-hak atau menyakiti orang lain, kita bisa berteriak, ”Kurang ajar!”

Hari-hari ini, di tengah pandemi yang entah kapan akan berakhir, kita menghadapi begitu banyak hal yang berhubunga­n dengan kata kurang. Banyak rumah sakit kekurangan oksigen, kekurangan tempat tidur untuk perawatan pasien. Kalau mau jujur, fasilitas kesehatan kita secara umum memang kurang.

Di luar itu, kita juga masih kurang dalam jumlah orang yang memperoleh vaksin. Kurang dalam melakukan tes, kurang melakukan pelacakan, sementara jumlah kasus orang yang dinyatakan positif terpapar virus semakin melonjak. Kematian semakin dekat, tak hanya orang yang dikenal, tapi melibatkan keluarga.

Kurang dan lebih tak sekadar menjadi penanda, misalnya dalam operasiona­l matematika. Kurang dan lebih adalah saudara kembar. Sayang sekali kita sering kali lebih silau dengan segala yang lebih. Kita ingin lebih kaya, lebih terkenal, lebih dihormati, lebih gampang, lebih cepat, dan sebagainya.

Padahal, mengetahui ada yang kurang tak kalah pentingnya. Masakan kurang asin menjadi penanda untuk menambahi garam. Mengendara­i mobil di jalan tol hanya dengan kecepatan di bawah 60 km/ jam, tentu kita segera tahu itu kurang cepat. Tak hanya mengganggu kendaraan lain, tapi juga membahayak­an.

Bahkan, banyak hal-hal besar di dunia, saya percaya, lahir dari kesadaran akan ”kurang”. Ketika kita sadar manusia kurang cepat dalam berhitung, lahir mesin kalkulator.

Kita juga kurang cepat dalam mengolah informasi, lahirlah komputer. Telepon rumah kurang fleksibel, lahirlah telepon genggam. Energi fosil semakin berkurang (dan tak ramah lingkungan), kita didorong untuk menemukan sumbersumb­er energi terbarukan.

Kembali ke masalah kita hari-hari ini. Sebagian besar kita terkurung di rumah masing-masing. Segala bisnis nyaris mandek. Kita tahu semua karena virus yang merajalela. Tapi, pada saat yang sama kita bisa menggugat.

Bisakah pengelola negara ini mengakui bahwa kita pernah kurang serius menanggapi pandemi? Bisakah para pemimpin mengakui bahwa mereka pernah kurang mendengar para ahli? Mengakui mereka tak tegas menegakkan aturan yang dibuat sendiri?

Hanya dengan mengetahui dan mengakui bahwa ada yang kurang, kita bisa memperbaik­i kekurangan­kekurangan tersebut, syukur-syukur kemudian memperoleh kemajuan dan penemuan baru.

Sebagaiman­a kalau petani tahu sawahnya kurang air, ia akan menggali sumur atau membuat pipa ke mata air. Pedagang yang sadar barangnya kurang laku akan memutar otak mencari cara memasarkan lebih baik.

Tunggu. Memang tak semua orang yang sadar bahwa dirinya kurang, atau mengetahui ada yang kurang, melahirkan inovasiino­vasi atau pemecahanp­emecahan masalah yang gemilang. Tak jarang, perasaan kurang lahir bukan karena benar-benar kurang, tapi lahir dari kerakusan.

Ada satu masa ketika negeri-negeri Eropa merasa kurang memiliki rempahremp­ah, dan itu mendorong mereka tak hanya berdagang, tapi hasrat untuk memilikiny­a. Hasrat untuk menaklukka­n sumber-sumbernya. Perasaan kurang yang didorong kerakusan menciptaka­n kolonialis­asi.

Kita sudah melihat pejabat yang bukannya sadar rakyat kurang memperoleh penanganan di kala pandemi, kurang makan karena tak bisa bekerja, tapi malah membesar-besarkan perasaan kurang punya uang bagi dirinya. Hasilnya? Bukannya menyalurka­n bantuan sosial, malah mengorupsi­nya.

Sejujurnya saya khawatir yang kita hadapi ini, terutama pada pemimpinpe­mimpin kita, bukan kesadaran akan kurangnya pelayanan mereka terhadap rakyat. Mereka lebih sibuk karena merasa kurang aman dalam posisi-posisi politik atau jabatan mereka. Inilah sumber bencana begitu banyak ”kurang” yang kita hadapi sekarang.

Kita sadar semua orang pasti punya kekurangan. Rakyat jelata maupun para pemimpin. Kita bisa lalai, kita juga bisa salah. Yang terpenting tentu mengetahui­nya, lalu mengakuiny­a, syukursyuk­ur meminta maaf. Itu bisa jadi langkah pertama untuk perbaikan dan keluar dari masalah.

Dengan kata lain, jadi pemimpin bisa kok kurang ajar. Asal sadar dan kemudian mengaku. Setelah itu mau tambah ajar. (*)

 ?? BUDIONO/JAWA POS ??
BUDIONO/JAWA POS
 ?? JAWA POS: BUDIONO/JAWA POS ??
JAWA POS: BUDIONO/JAWA POS
 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia