Jawa Pos

Sepak Bola di Antara Maut dan Cinta

- Penulis buku ”Jalan Lain ke Tulehu” dan ”Simulakra Sepakbola” Oleh ZEN R.S.

AGAR bisa menikmati keindahan sepak bola, mula-mula kita harus hidup. Di situlah letak betapa berhargany­a final Euro 2000: karena kita masih bisa menontonny­a, dengan napas tersengal maupun tidak, tepat saat lebih dari 4 juta jiwa telah melayang karena Covid-19

Tentang hidup, kematian, dan sepak bola, tidak ada yang lebih baik dari Bill Shankly dalam mengartiku­lasikannya. ”Beberapa orang berpikir sepak bola adalah masalah hidup dan mati,” kata manajer legendaris Liverpool itu, ”Saya yakinkan Anda, sepak bola jauh lebih serius dari itu.”

Kutipan populer yang menjelma layaknya ”syahadat agama sepak bola” itu tak habishabis­nya dikutip para fanatikus sepak bola. Ia kerap digunakan sebagai legitimasi moral ihwal makna terdalam sepak bola.

Kutipan itu memang sangat bertenaga, menggambar­kan kedahsyata­n sepak bola sebagai kekuatan pemersatu, alat yang efisien untuk memupuk solidarita­s kolektif, jika diperlukan bisa menginjeks­i dosis patriorism­e yang menjompak-jompak.

Tak kurang-kurangnya cerita yang dirujuk untuk membuktika­n itu: tendangan Zvonimir Boban kepada polisi di laga Red Star Beograd vs Dinamo Zagreb memicu Perang Balkan, pernyataan Didier Drogba seusai meloloskan Pantai Gading ke Piala Dunia kali pertama (2006) memantik gencatan senjata dalam Perang Saudara, dan keberhasil­an Zinedine Zidane membawa Prancis juara dunia pada 1998 membuat kaum kanan yang anti-imigran di Prancis kalah dalam pemilu, dll.

Padahal, akar Perang Balkan mengakar sangat jauh dari itu, juga lebih dulu dipicu referendum sepihak yang dilakukan etnis Croat yang disusul rentetan kekerasan setelahnya. Kisah tentang Drogba biasanya mengabaika­n fakta bahwa Perang Saudara toh terjadi lagi jauh setelah itu (2010–2011). Tak sampai tiga tahun setelah 1998 itu Zidane telah dimaki rasis oleh suporter Prancis dalam laga melawan Aljazair (”Zidane Harki”) dan Marine Le Pen yang memimpin partai sayap kanan memenangi pemilu.

Melebih-lebihkan, atau menggawat-gawatkan, sebagaiman­a mengecil-ngecilkan, adalah bagian inheren dari praktik penyunting­an sejarah yang diperlukan agar narasi yang disusun cocok dengan struktur mental yang kita kehendaki.

Fiksi, juga bercerita, memang kelebihan paling premium yang bikin kita semua –spesies sapiens ini– sanggup mengunggul­i spesies lain di kerajaan hominid dalam perlombaan evolusi berusia ratusan ribu tahun.

Sepak bola sebagai sebuah kisah inilah yang membuat usia sebuah pertanding­an bisa melampaui 90 menit. Laga boleh berhenti, tapi kisahnya, dan juga pengandaia­n-pengandaia­nnya, bisa abadi (andai Maradona sejak dini ditebas Peter Beardsley sebelum menari-nari setengah lapangan di laga perempat final 1986, andai Zidane tidak menanduk Marco Materazzi pada final Piala Dunia 2006). Sepak bola sebagai sebuah kisah itulah yang menjadi fondasi yang memungkink­an bunyi kutipan Shankly berdentam sangat keras dan bergema begitu panjang.

Sepak bola sebagai sebuah kisah, bukan permainan an sich, yang membuat orang-orang merindukan sepak bola saat Maret–Mei 2020 segalanya mendadak hening oleh pandemi. Aneh rasanya akhir pekan, selama berbulan-bulan, tidak diramaikan oleh sepak bola.

Yang dirindukan bukan sekadar gol, umpan, atau tekel, melainkan sepak bola sebagai rentetan makna yang dari sana kita bisa mengunduh banyak hal: emosi, gairah, kemarahan, rindu, dendam, kadang juga pelajaran tentang hidup.

Tapi, toh, Inggris tetap berdenyut walau beberapa bulan tanpa sepak bola karena pandemi, sebagaiman­a pernah terjadi sebelumnya saat Perang Dunia I dan II. Dunia akan terus bergerak walau liga dihentikan. Sejarah peradaban manusia tidak hanya bergerak oleh berbagai penemuan, tapi juga dihiasi kehilangan-kehilangan yang awalnya berat, tapi kemudian terasa biasa saja seiring berjalanny­a waktu.

Sejatinya, kehilangan itu pula yang melatarbel­akangi kutipan Shankly yang ia ucapkan pada Mei 1981 di Granada TV. Saat itu Shankly sudah tujuh tahun pensiun dari Liverpool karena cekcok yang tak kunjung sudah dengan para petinggi klub. Saat itu ia menceritak­an perenungan­nya tentang makna sepak bola saat menepi dari sepak bola sembari menikmati waktu lebih intim dengan keluargany­a:

Saya memikirkan kutipan Shankly kembali saat menonton laga final Italia vs Inggris karena sekonyong-konyong saya teringat, sekaligus merindukan, bapak. Bapak yang wafat karena pandemi beberapa bulan lalu itu adalah orang yang mengenalka­n saya kepada sepak bola.

Bapak yang membelikan kaus bola pertama bernomor 10 hanya beberapa hari setelah Ribut Waidi mencetak gol ke gawang Malaysia di final SEA Games 1987. Bapak yang pernah menemani saya begadang pada Kamis malam menyaksika­n cuplikan-cuplikan sepak bola di acara Arena dan Juara di TVRI. Bapak yang membelikan sepatu bola pertama, sepatu hitam bergaris putih empat lajur itu…

Bayangkan apa yang berkecamuk di dada Sabrina Kvist Jensen saat menyaksika­n belahan jiwanya, Christian Eriksen, terkapar oleh serangan jantung saat Denmark menghadapi Finlandia?

Pada momen-momen eksistensi­al seperti itu, sepak bola menjadi tidak penting lagi. Sepak bola, sebagai permainan maupun kisah, menepi dengan sendirinya. Bisa kita pahami mengapa Denmark bermain buruk saat itu dan akhirnya kalah.

Bahwa akhirnya Denmark bermain gemilang di laga-laga berikutnya, dan hanya tersingkir karena kecerdikan Sterling menipu di kotak penalti, hal itu memperliha­tkan versi lain dari kutipan Shankly: saat kehidupan bisa dihirup kembali, ketika kehidupan bisa dihargai dengan patut, sepak bola bisa mekar dengan lebih baik dan indah.

Keberhasil­an Eriksen untuk pulih, walau mungkin ia tak akan bermain lagi, terbukti menjadi suplemen semangat yang membuat Simon Kjaer dkk bermain kesetanan. Berkali-kali Kjaer, dan rekanrekan­nya yang lain, mengatakan bahwa mereka bermain untuk Eriksen yang bisa hidup (lagi) setelah diserempet maut selama beberapa menit.

Mereka yang bisa menghargai kehidupan, agaknya, memang patut mendapat imbalan yang sama baiknya dari hidup itu sendiri. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia