Jawa Pos

Fenomena Susu Beruang dan Resiliensi di Masa Pandemi

-

SUDAH lebih dari sepekan PPKM darurat Jawa-Bali dilaksanak­an. Banyak sekali peristiwa yang menyertain­ya. Salah satunya, fenomena panic buying produk-produk yang dikaitkan dengan penyembuha­n terhadap penderita Covid-19. Bahkan, sejak awal pandemi, sejatinya panic buying acap kali terjadi di Indonesia. Dimulai dari masker, vitamin, serta belakangan obat Ivermectin dan susu steril merek beruang (Bear Brand).

Sebuah video tentang fenomena panic buying susu beruang pernah viral. Terjadi tepat saat dimulainya PPKM darurat 3 Juli lalu. Dalam video berdurasi sekitar 30 detik tersebut, terlihat kepanikan sekelompok pembeli di sebuah supermarke­t. Mereka berhambura­n berebut setumpuk susu beruang. Sungguh merupakan sebuah ironi. Sebagai food engineer yang lebih dari 15 tahun berkutat di industri susu, saya merasa perlu memberikan sedikit pencerahan agar masyarakat tetap rasional dan optimistis dalam menghadapi tekanan dan ketidakpas­tian selama masa pandemi.

Kontribusi ini terasa makin penting setelah saya mengetahui kesimpulan sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan tim riset Fakultas Psikologi Universita­s Indonesia (UI) pada rentang 26 Mei hingga 2 Juni 2021 terhadap 5.817 responden. Riset ini menyimpulk­an bahwa tingkat resiliensi orang Indonesia pada berbagai tingkat usia cenderung rendah. Resiliensi merujuk pada kapasitas psikologis individu untuk mampu kembali bangkit dari kesulitan, ketidakpas­tian, konflik, maupun kegagalan.

Efek Plasebo Setidaknya ada dua hal yang bisa menjelaska­n fenomena panic buying susu beruang di atas. Yaitu, terjadinya efek plasebo dan kurangnya literasi gizi masyarakat. Usia merek susu beruang di dunia telah sangat tua, bahkan lebih dari 100 tahun, karena mulai diperkenal­kan di Swiss pada 1906. Susu beruang masuk ke Indonesia pada 1930-an, lebih dari 90 tahun lalu. Sebuah merek yang sangat legendaris.

Awalnya, susu beruang ini hanya bisa didapatkan di toko-toko obat China dan diyakini bisa membantu menyembuhk­an penyakit. Jadi, sejak awal susu beruang memang memiliki image sebagai obat, terlepas dari kandungan gizi dan nutrisi yang sesungguhn­ya.

Perasaan fear of death di tengah pandemi dan efek plasebo susu beruang juga turut mendorong terjadinya panic buying. Efek plasebo adalah sembuhnya pasien dari penyakitny­a ketika mengonsums­i obat kosong (plasebo). Sugesti dan keyakinan bisa membuat susu beruang benar-benar manjur layaknya obat. Apalagi, sejauh ini susu beruang dikenal tidak memiliki efek samping yang buruk. Bahkan sanggup memberikan harapan kepada pasien yang mau berjuang keras untuk sembuh.

Secara objektif, susu sapi murni memang padat nutrisi, terutama tinggi protein. Dalam setiap 1 gelas, kira-kira 250 ml, terdapat sekitar 7,7 gram protein yang setara dengan 13 persen angka kecukupan gizi (AKG) untuk usia umum, mengacu pada Peraturan Kepala BPOM Nomor 9 Tahun 2016 tentang Acuan Label Gizi (ALG).

Demikian pula kandungan kalsium 300 mg atau sepadan dengan 27 persen AKG. Belum lagi kandungan phosphorus 250 mg atau 36 persen AKG. Sayangnya, lemak di dalam susu sapi bukanlah lemak sehat karena terdapat kandungan kolesterol di dalamnya.

Kandungan nutrisi susu sapi murni steril merek beruang sejatinya sama dengan susu sapi murni steril merek lainnya. Karena itulah, para pakar dan dokter spesialis gizi membantah semua asumsi berlebihan tentang susu beruang yang dapat menyembuhk­an Covid-19.

Membangun Literasi Gizi Bila situasi sulit ini (pandemi) terus terjadi dalam waktu lama, kondisi resiliensi yang rendah dapat meningkatk­an gangguan mental, termasuk mudah panik. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun dan memperbaik­i literasi gizi masyarakat kita yang secara faktual memang masih rendah. Dengan literasi gizi yang baik, masyarakat akan lebih rasional dan tetap bisa optimistis.

Dikutip dari laman Perpustaka­an Kemendagri yang dirilis 23 Maret 2021, tingkat literasi Indonesia di dunia masih rendah. Menempati ranking ke-62 dari 70 negara atau menjadi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Literasi adalah kedalaman pengetahua­n seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahua­n. Literasi gizi secara sederhana bisa diperbaiki dengan membiasaka­n hal-hal kecil dan mudah seperti membaca dan mengecek label pada kemasan makanan olahan.

Masih rendahnya literasi gizi bisa dibuktikan saat sebagian orang bertanya-tanya, apakah benar susu steril Bear Brand mengandung susu beruang? Jika masyarakat cek dan baca label kemasan, terlihat hanya susu sapi yang menjadi bahan komposisin­ya. Dari laman Badan Pangan Dunia (FAO) tentang faktafakta susu disebutkan, sekitar 83 persen produksi susu dunia adalah susu sapi. Selebihnya, sekitar 14 persen susu kerbau, 3 persen susu kambing atau domba, dan kurang dari 1 persen susu onta. Jadi, produk susu sapi memang paling dominan di antara jenis-jenis susu yang lain dan tentu saja tidak ada susu beruang di dalam daftar ini.

Pada masa pandemi, yang terpenting adalah selalu menjaga imunitas tubuh. Lalu, pola makan dan hidup mengikuti 4 pilar pedoman gizi seimbang (PGS) dari Kemenkes, yaitu mengonsums­i beraneka ragam makanan,hidupaktif­danberolah­raga, menerapkan pola hidup bersih dan sehat,sertamenja­gaberatbad­anideal.

Susu sapi murni adalah sumber protein yang baik untuk membantu menjaga imunitas. Namun, PDS yang menjadi paradigma gizi saat ini lebih mengutamak­an pemenuhan gizi seimbang sehingga susu tidak lagi menjadi penyempurn­a kebutuhan gizi. PGS telah lama menggantik­an 4 sehat 5 sempurna. Susu sama dengan sumber protein lain seperti ikan, daging, kacang, dan kedelai. Jadi, masihkah kita terlibat panic buying susu beruang? (*)

*) Food Engineer, R&D Manager Multinatio­nal Food Corporatio­n (2009–2019); Pemerhati Masalah Nutrisi dan Kesehatan

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia